Rizal Ramli: Banyak Raja Kecil di Sistem Perdagangan Indonesia

Pemerintah sebenarnya mengendalikan impor demi melindungi petani, peternak, dan pengusaha dalam negeri.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 21 Jan 2016, 16:45 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2016, 16:45 WIB
20160121-Menko Rizal Ramli Pimpin Rakor Ketahanan Pangan dan Kemiskinan-Jakarta
Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli (depan kiri) saat tiba untuk mengikuti rapat koordinasi di Gedung BPPT, Jakarta, Kamis (21/1/2016). Rapat koordinasi tersebut membahas pangan dan kemiskinan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengakui ada pihak-pihak yang menguasai kegiatan perdagangan antar pulau di Indonesia. Akibatnya, harga komoditas strategis, semisal bahan pangan naik signifikan meskipun pasokan melimpah. Dengan penguasaan perdagangan tersebut akan membebani masyarakat karena harga pangan akan selalu tinggi.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli dalam Konferensi Pers Reformasi Pangan mengungkapkan, selama ini perdagangan antar pulau di Indonesia semakin tidak kompetitif dibanding negara lain.

"Perdagangan antar pulau tidak kompetitif, karena ada raja-raja kecilnya. Harusnya perdagangan pulau selama di Indonesia tidak boleh ada hambatan dong, namanya juga NKRI. Kalau ada jagung lebih di mana, silakan saja bawa ke mana," jelas Rizal di kantornya, Jakarta, Kamis (21/1/2016).

Pemerintah, sambungnya, harus mengurangi hambatan dalam kegiatan perdagangan antar pulau, bahkan antar negara seperti impor. Pemerintah berupaya untuk mengendalikan impor demi melindungi petani, peternak, dan pengusaha dalam negeri.

"Tapi niat baik saja tidak cukup karena niat baik ini disalahgunakan, contohnya penggunaan sistem kuota impor. Jadi kita perlu mencari jalan supaya lebih transparan, yakni dengan menggunakan sistem tarif," tutur Rizal.

Sistem tarif tersebut, katanya, akan diberlakukan untuk komoditas strategis bahan pangan yang selama ini menerapkan sistem kuota atau semi kuota impor, diantaranya gula, daging sapi, jagung, garam dan sebagainya.

"Hal ini terjadi di komoditas jagung. Importirnya adalah produsen besar. Sudah punya kekuatan besar, diberikan lagi importir produsen, semakin besar kekuatan pasarnya. Imbasnya, harga jagung bukan turun, malah naik," papar Rizal. 

Pada dasarnya, ia bilang, pemerintah ingin menggunakan sistem yang kompetitif dan diterapkan untuk impor komoditas yang dibutuhkan rakyat. Tujuannya hanya satu, melindungi produsen, petani dan peternak dalam negeri dengan sistem tarif.

Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga mengungkapkan bahwa tidak semua kebijakan pembatasan kuota impor itu tepat. Ketua KPPU Syarkarwi Rauf mencontohkan seperti yang terjadi pada pembatasan impor bawang putih.

"Misalnya bawang putih, kita dulu menangani kasus bawang putih ada 19 importir kita hukum, kenapa? Karena diduga melakukan kartel impor," kata dia.

Dia menerangkan, hal tersebut disebabkan oleh pembatasan impor. Syarkarwi menuturkan, kebijakan kuota itu dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri. Padahal, sebanyak 97 persen kebutuhan bawang putih lokal diperoleh dari impor. Syarkarwi menuturkan, kebijakan pembatasan impor justru dimanfaatkan importir tertentu untuk bermain harga.

"Ini keliru dalam menerapkan kebijakan implikasikasinya kemana-kemana karena pakai kuota yang dapat kelompok usaha tertentu yang terjadi kartel," ujar Syarkarwi.

Hal sama terjadi pada daging, pembatasan kuota justru menjadi pemicu terjadinya kartel. "Sama di daging dengan kuota impor misal semester I Kementan beri 250 ribu sapi. Triwulan III dengan 50 ribu ekor oleh pelaku usaha untuk triwulan III berusaha dicukupkan untuk triwulan IV. Jadi kebutuhan 3 bulan jadi 6 bulan pasti pasokan berkurang," jelas Syarkarwi.

Alhasil pasokan berkurang harga daging melesat tinggi. Dia bilang, untuk pembatasan kuota dilakukan jika dalam negeri mampu mencukupi sebagian besar kebutuhannya."Jadi persoalan kita, pemberian kuota diturunkan dengan sangat agresif yang menyebabkan terjadinya kelangkaan," ujar dia. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya