Ini Alasan BI Ubah Sistem Acuan Suku Bunga

Selama kurun waktu 5 tahun ini, kebijakan makro ekonomi Indonesia belum terlalu stabil.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 15 Apr 2016, 18:30 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2016, 18:30 WIB
20151117-Gubernur BI Gelar Konferensi Pers Triwulan III Bank Indonesia
Deputi Gubernur BI Senior Mirza Adityaswara (kiri) bersama Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo berbicang saat menggelar konferensi pers Triwulan III Bank Indonesia (BI) di Gedung BI, Jakarta, Selasa (17/11/2015). (Liputan6.com/Angga Yunia)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengubah acuan suku bunga dalam kebijakan moneter dari yang sebelumnya bunga dengan tenor 12 bulan menjadi bunga dengan tenor 7 hari. Dengan adanya perubahan acuan suku bunga ini‎ maka nantinya nama suku bunga acuan tidak lagi BI Rate, melainkan Bank Indonesia Seven Days Reserve Ripo Rate. Kebijakan ini akan berlaku mulai 19 Agustus 2016.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menjelaskan‎, kebijakan ini ditempuh untuk memperdalam pasar keuangan Indonesia dan menyesuaikan dengan apa yang diterapkan bank sentral di beberapa negara maju di dunia.

"Di periode 2008-2010 Bank Indonesia rate itu bisa mempengaruhi suku bunga overnight perbankan sangat efektif. Pada periode itu, BI rate naik bunga antar bank naik, begitu sebaliknya. Tapi setelah itu, keduanya terpisah," terang Mirza di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (15/4/2016).

Dengan kata lain, sejak 2010, BI Rate kurang bisa mengendalikan suku bunga antar bank. Hal tersebut terjadi karena adanya kebijakan quantitative easing yang dijalankan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed). Sebagai negara berkembang, Indonesia menjadi salah satu negara yang kebanjiran dana akibat pelonggaran kebijakan moneter oleh AS tersebut.

Apa yang dialami Indonesia selama ini, terutama mengenai kebijakan moneter yang diterapkan Bank Indonesia kurang mengikuti best practice yang diterapkan bank-bank sentral di berbagai negara maju di dunia.

Mirza menjelaskan, selama kurun waktu 5 tahun ini, kebijakan makro ekonomi Indonesia belum terlalu stabil. Hal ini dilihat dari Current Account defisit yang melebar, inflasi yang masih tinggi dan masih besarnya subsidi di APBN.

"Saat ini menurut kami, saat yang tepat Bank Indonesia kembali kepada best practice itu karena saat ini outlook inflasi masih dalam kontrol , salah satu komponen subsidi di dalam APBN sudah kecil, dulu sampai 30 persen APBN, saat ini hanya 10 persen APBN," terang Mirza. (Yas/Gdn)‎

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya