Liputan6.com, Jakarta - Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menegaskan total utang pemerintah pusat sebesar Rp 3.279 triliun hingga April 2016 masih dalam posisi sangat aman. Pasalnya rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih di angka 27 persen, jauh di bawah ambang toleransi 60 persen dari PDB.
Wakil Ketua KEIN, Arif Budimanta mengungkapkan, utang pemerintah hingga awal tahun ini masih berada dalam posisi sangat aman, baik secara ekonomi maupun ketentuan regulasi yang telah ditetapkan.
Rasio utang pemerintah pusat 27 persen dari PDB, sedangkan batas maksimal yang dibolehkan Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen.
"Cara paling baik melihat utang pemerintah pusat bukan nominalnya, sehingga tidak terjadi sesat paham. Standar umumnya cara membandingkan utang dengan kemampuan kita membayar, yakni lewat rasio utang dari PDB 27 persen masih sangat aman," kata Arif saat Konferensi Pers di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Advertisement
Baca Juga
Rasio utang pemerintah 27 persen, diakuinya, sangat rendah bila dibanding negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Filipina, Malaysia, maupun Thailand. Apalagi jika dibandingkan dengan negara maju yang rasio utangnya jauh lebih tinggi, yakni Amerika Serikat (AS) dan Jepang yang berada di atas 100 persen dari PDB masing-masing.
Lebih jauh Arif menyatakan, utang pemerintah pada dasarnya diperlukan untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penyediaan arus kas jangka pendek, serta pembayaran utang lama. "Yang terpenting pengelolaan utang tersebut untuk tujuan yang produktif," tegasnya.
Dia mengungkapkan, KEIN mengingatkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa hal terkait utang pemerintah pusat. Pertama, meminimalkan biaya utang dengan tingkat risiko yang semakin terkendali.
Kedua, menganut prinsip tidak ada agenda politik yang dipersyaratkan oleh pihak kreditor. Ketiga, mencari utang dengan persyaratan lunak (jangka panjang, biaya relatif ringan), terutama dari multilateral dan kreditor bilateral.
"Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) diutamakan berasal dari pasar dalam negeri dalam bentuk rupiah demi mewujudkan kemandirian dalam pembiayaan APBN. Jadi pemerintah juga ikut membangun pengelolaan likuiditas pasar," terang Arif.(Fik/Ndw)