Banjir Stok Tekan Harga Minyak

Stok minyak mentah naik hampir 1,7 juta barel pekan lalu, menurut Lembaga Administrasi Informasi Energi AS.

oleh Nurmayanti diperbarui 28 Jul 2016, 05:01 WIB
Diterbitkan 28 Jul 2016, 05:01 WIB
Dolar Menguat, Harga Minyak Sentuh Level US$ 50
Penguatan dolar dan produksi minyak Rusia serta ekspor Irak tinggi membuat harga minyak dunia merosot 5 persen.

Liputan6.com, New York - Harga minyak dunia jatuh ke posisi terendah dalam tiga bulan seiring kenaikan stok, yang menyulut kekhawatiran akan membanjirnya pasokan bensin dan bahan bakar lainnya. Ini juga menjadi tanda jika kelebihan stok dalam dua tahun tidak surut secepat harapan.

Melansir laman Wall Street Journal, Kamis (28/7/2016), harga minyak mentah AS merosot US$ 1 atau 2,3 persen menjadi US$ 41,92 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara Brent, patokan minyak global, turun US$ 1,40 atau 3,1 persen ke posisi US$ 43,47 per barel.

Stok minyak mentah naik hampir 1,7 juta barel pekan lalu, menurut Lembaga Administrasi Informasi Energi AS.

Sementara analis yang disurvei Wall Street Journal berharap, pasokan turun sebesar 1,6 juta barel. Stok bensin juga tercatat naik 452 ribu barel. Para analis telah memperkirakan tidak ada perubahan pada stok.

Kekhawatiran tentang membanjirnya pasokan telah mengirim harga minyak susut sepanjang bulan Juli. Ini membalikkan reli selama lima bulan yang mendorong minyak mencapai di atas US$ 50 per barel.

Penyulingan AS telah kewalahan memenuhi permintaan, dan pasar internasional juga tengah jenuh terkait persediaan cadangan minyak di AS ini, kata para analis.

Dengan melihat kondisi harga komoditas pada Juli yang menurun, diragukan jika harga minyak akan kembali menguat. "Setelah harga mencapai US$ 50 per barel pada bulan Juni. Jika kita melihat gambaran besar, itu tidak terlihat seperti rebound," ujar Robbie Fraser, Analis Komoditas Schneider Electric.

Kini fokus pedagang bergeser ke kenaikan saham bahan bakar. Sebab ini mendestabilisasi pemulihan harga minyak yang telah berlangsung sejak Februari.

Saat itu, gangguan pasokan terkait pemogokan pekerja di Kuwait, kebakaran hutan di Kanada dan serangan militan di Nigeria membantu sementara harga berbalik ke posisi lebih dari 18 bulan usai turun.


POPULER

Berita Terkini Selengkapnya