Ini Dampak Bila RI Putuskan Setop Ekspor Batu Bara

Indonesia punya cadangan batu bara yang tersimpan di perut bumi 30 miliar-40 miliar ton yang dapat memenuhi kebutuhan jangka panjang.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 06 Sep 2016, 12:55 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2016, 12:55 WIB
tambang batu bara
(Yuliardia Hardjo Putro/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) menyatakan, penghentian ekspor bukanlah langkah tepat bagi Indonesia menghindari krisis pasokan batu bara.

Indonesia, khususnya industri pertambangan nasional, justru akan terguncang apabila pemerintah mengambil kebijakan tersebut.

Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir mengungkapkan, cadangan batu bara Indonesia saat ini mencapai 8 miliar ton. Sementara konsumsi domestik membutuhkan 170 juta ton batu bara setiap tahun, apalagi pemerintah dan PT PLN (Persero) sedang mengejar target ambisius proyek pembangkit listrik 35 ribu Megawatt (MW).

Dia menambahkan, Indonesia memiliki cadangan batu bara yang tersimpan di perut bumi 30 miliar-40 miliar ton yang dapat memenuhi kebutuhan jangka panjang. Namun yang dapat dikeruk dengan harga saat ini sekitar US$ 70 per ton hanya 8 miliar saja.

"Produksi batu bara kita 350 juta-400 juta ton per tahun, konsumsi 170 juta per tahun, dan cadangan tinggal 8 miliar ton. Jadi sudah pasti habis pasokan batu bara di 2035-2036. Kita tidak akan punya batu bara lagi, termasuk untuk memenuhi kebutuhan proyek 35 ribu MW," kata Pandu saat berbincang dengan Liputan6.com di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (6/9/2016).

Gambaran kondisi ini, dia menilai, sudah membuat pengusaha tambang batu bara resah. Oleh sebab itu, ‎APBI telah berdiskusi dengan pemerintah untuk mencari solusi tepat, tapi bukan dengan menghentikan ekspor batu bara. Pandu menjelaskan, penghentian ekspor emas hitam hanya akan memperparah keadaan.

"Kalau ekspor batu bara disetop, yang ada tumbuh permainan kuota. Karena semua turunin produksi, perusahaan tutup, dan pekerja di lay off. Bisa hancur bisnis pertambangan di Indonesia," tegas dia.

Belum lagi persoalan berkurangnya penerimaan pajak dari industri pertambangan batu bara. Pandu menyebut, salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia saat ini adalah para pemain atau pengusaha batu bara dengan kontribusi US$ 5 miliar per tahun.

"Kalau ekspor disetop, pendapatan negara langsung jebol, defisit anggaran makin lebar. Parahnya lagi, 700 ribu karyawan dari 1 juta pekerja di industri ini akan kena pemutusan hubungan kerja (PHK), ribut semua gubernur dan bupati di daerah," jelas Pandu.

Untuk itu, Pandu menyarankan agar‎ pemerintah mengambil jalan atau solusi cost plus atau menaikkan investasi. Dengan cara ini, kegiatan penanaman modal di hulu tambang sampai hilir membangun pembangkit listrik akan masuk ke Indonesia.

"Jadi pasokan batu bara bisa menambah untuk jangka panjang sampai periode 2070. ‎Cost plus cara yang paling mudah, daripada nantinya kita impor dari Australia dengan harga batu bara US$ 100 per ton, kasihan pemerintah pusatnya," papar dia. (Fik/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya