Liputan6.com, Jakarta Sebuah laporan penelitian menemukan jika konflik sosial di sektor kelapa sawit menimbulkan biaya yang besar serta dampak luas bagi banyak pihak.
Namun, seringkali biaya ini diabaikan, padahal juga dapat merugikan komunitas dan pemerintah daerah.
Baca Juga
“Kami ingin memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai dampak konflik sosial terhadap perusahaan kelapa sawit dengan cara menghitung seluruh biaya langsung dan tidak langsung, termasuk nilai kerugian aset berwujud maupun tak berwujud," ujar Aisyah Sileuw, Presiden Direktur Daemeter, salah seorang pelaksana penelitian di Jakarta, Jumat (20/1/2017).
Advertisement
Dia menuturkan, dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa biaya yang terakumulasi akibat konflik sosial sangat signifikan dan berpotensi menghambat produktivitas perusahaan.
Hasil kajian beberapa studi kasus dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kerugian berwujud yang langsung dialami bisnis kelapa sawit akibat dari konflik sosial dapat mencapai US$ 2,5 juta, mewakili 51 persen hingga 88 persen dari biaya operasional perkebunan kelapa sawit, atau 102 persen hingga 177 persen dari biaya investasi per hektar per tahun.
Kerugian biaya terbesar disebabkan hilangnya pendapatan operasional perkebunan dan waktu kerja para karyawan yang dialokasikan untuk menanggulangi konflik sosial tersebut.
Penelitian ini juga memperlihatkan kerugian biaya “tersembunyi” (intangible) yang mencapai US$ 9 juta berupa kerugian tidak langsung akibat risiko konflik yang berulang atau konflik yang memburuk, kerugian akibat memburuknya reputasi bisnis dan risiko kekerasan terhadap harta benda dan manusia.
Perihal ini, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menyambut baik temuan penelitian ini sebagai panggilan bagi dunia usaha untuk bertindak.
"Mengingat tingginya kerugian yang diderita perusahaan yang terlibat dalam konflik lahan, sangatlah penting bagi perusahaan untuk meningkatkan pencegahan, penanganan serta penyelesaian konflik," ujar Wakil Ketua Umum Hubungan Internasional KADIN dan Presiden Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Shinta W Kamdani.
Aisyah Sileuw menambahkan, penelitian ini secara jelas menunjukkan bagaimana konflik sosial berdampak bagi perusahaan kelapa sawit dan diharapkan dapat membantu para eksekutif dan jajaran manajerial untuk membuat kebijakan dan keputusan operasional yang lebih baik untuk menghindari dan mengelola konflik.
Meskipun penelitian ini tidak mengungkapkan biaya akibat konflik bagi masyarakat maupun pemerintah namun diakui biaya kerugian tersebut sangatlah signifikan.
“Meskipun dengan ukuran sampel yang kecil dan lingkup yang sempit, temuan kami mengindikasikan bahwa konflik sosial berdampak secara signifikan, tidak dipahami dengan baik dan berpotensi menghambat produktivitas perusahaan, masyarakat dan pemerintah serta negara Indonesia secara keseluruhan,” ujar dia.
Penelitian “The Cost of Conflict in Palm Oil in Indonesia” dilaksanakan oleh Daemeter Consulting untuk Conflict Resolution Unit (CRU) IBCSD. Penelitian ini memiliki fokus untuk menghitung nilai finansial akibat konflik-konflik sosial yang dialami lima perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan Sumatera.
Penelitian ini mengidentifikasi beberapa tema umum seputar konflik sosial sektor kelapa sawit. Di dalamnya mencakup terkurasnya sumber daya; tanah (dan mata pencaharian) adalah penyebab utama konflik sosial sektor kelapa sawit; sengketa cenderung tidak dimulai dengan kekerasan; konflik sering terulang; dan konflik cenderung terjadi pada fase produksi.
Beberapa rekomendasi penting penelitian ini antara lain, perusahaan-perusahaan kelapa sawit perlu memperbaiki kebijakan dan prosedur manajerial terkait konflik; perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab, perkembangan, dan implikasi konflik sosial; serta perlunya dikembangkan praktik-praktik terbaik pencegahan, penanganan dan penyelesaian konflik.