Harga LPG Bisa Murah Jika Dicampur Gas Batu Bara

Indonesia mengalami ketergantungan Liquefied Petroleum Gas (LPG) impor.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 24 Apr 2017, 14:39 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2017, 14:39 WIB
Gas Bumi
Ilustrasi Foto Gas Bumi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia mengalami ketergantungan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) atau impor LPG. Hal tersebut ditunjukkan dari 6,57 juta ton konsumi LPG tahun lalu, 65 persennya didatangkan dari luar negeri. Impor LPG diperkirakan meningkat seiring dengan lonjakan konsumsi.

Menyikapi hal tersebut, Badan Penelitian Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ‎sedang melakukan penelitian, mencampurkan LPG dengan ‎dimetil ether‎, yaitu batu bara yang telah diolah menjadi gas.

‎"Kami konversi juga dimetil ether, untuk dicampur ke LPG. Sekarang sedang kami kaji," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM Sutijastoto, di Jakarta, Senin (24/4/2017).

Sutijastoto menuturkan, LPG yang dicampur dengan gas batu bara dapat mengurangi 30 persen porsi propane (C3H8) dan butane (C4H10).

Kedua zat tersebut merupakan komposisi LPG yang saat ini sebagian didatangkan dari luar negeri. Artinya, jika pencampuran dimetil ether bisa dilakukan dapat mengurangi impor LPG, karena batu bara ‎bisa dipasok dari dalam negeri.

"Konsumsi elpiji kita 6 juta ton dalam setahun. Mayoritas dari impor. Dengan dimetil ether 30 persen dari itu bisa dikurangi," ujar Sutijastoto.

Sutijastoto melanjutkan, selain mengurangi impor, dicampurnya gas batu bara dalam tabung LPG juga dapat menekan harga. Lantaran batu bara yang melimpah di Indonesia, harganya jauh lebih murah‎ ketimbang LPG.

‎"Harganya bisa lebih murah lagi. Sekarang ini pakai elpiji murni propane butane," ucap Sutijastoto.

Sutijastoto menuturkan, meski gas tersebut berbahan baku batu bara tetapi tetap ramah lingkungan, karena sudah dikelola dengan baik. Saat ini pencampuran gas batu bara dalam LPG telah dilakukan di Tiongkok.

"Ini teknologi relatif ramah lingkungan, tapi mengurangi impor. Itu sudah dilakukan di China, di kita masih penelitian," tutur Sutijastoto.



POPULER

Berita Terkini Selengkapnya