Sri Mulyani dan Dilema APBN Tanpa Utang

Kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati untuk menambah utang terus direspons negatif oleh sebagian kalangan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 31 Jul 2017, 11:16 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2017, 11:16 WIB
Sri Mulyani Bersama Gubernur BI Rapat Dengan Banggar DPR
Menkue, Sri Mulyani saat mengikuti Rapat Kerja dengan Banggar DPR, Jakarta, Selasa (25/7). Rapat juga membahas pembahasan RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN TA. 2016. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati untuk menambah utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 sebesar Rp 461,3 triliun terus direspons negatif oleh sebagian kalangan. Sementara di sisi lain, pemerintah diminta tidak menaikkan pajak dengan tujuan meningkatkan penerimaan pajak.

Dikutip dari video yang diunggah Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (31/7/2017), Sri Mulyani mengatakan, pemerintah dan DPR sepakat mematok penerimaan negara sebesar Rp 1.736,1 triliun di APBN-P 2017. Adapun target belanja negara Rp 2.133,3 triliun.

Dengan demikian, defisit fiskal senilai Rp 397,2 triliun atau 2,92 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk menambal defisit anggaran tersebut, pemerintah membutuhkan pembiayaan anggaran yang berasal dari utang sebesar Rp 461,3 triliun.

"Kalau kita ingin APBN tanpa utang, maka belanja negara harus saya potong sebanyak Rp 397,2 triliun. Itu berarti bisa seimbang, persis APBN tanpa utang. Tapi belanja apa yang harus saya potong lebih dulu?" ujar Sri Mulyani.

Sebagai contoh, Sri Mulyani tidak mungkin memotong belanja pegawai, seperti gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS)/TNI/Polri atau guru, pembayaran listrik. Pemerintah pun dilarang membabat anggaran pendidikan yang dalam undang-undang (UU) sudah ditentukan 20 persen dari APBN, serta anggaran kesehatan 5 persen dari APBN.

Di APBN-P 2017, pemerintah mengalokasikan Rp 426,7 triliun atau untuk anggaran pendidikan, dan anggaran kesehatan Rp 106,7 triliun. Masing-masing naik dari APBN induk 2017 yang dipatok Rp 416,1 triliun dan Rp 104 triliun.

"Gaji, anggaran kesehatan dan pendidikan tidak boleh saya potong. Bantuan untuk orang miskin juga tidak boleh dipangkas. Subsidi listrik, elpiji, dan BBM pun sama. Lalu saya harus potong belanja apa?" tanya dia.

"Kalau saya potong anggaran infrastruktur, proyek MRT, LRT diberhentikan, mangkrak, Anda macet terus? Tidak apa ya. Pokoknya kan yang penting tidak ngutang. Termasuk tidak usah bangun listrik baru, boleh? Pasti bilangnya jangan juga," Sri Mulyani mengatakan.

Ia memberikan opsi lain. "Oke, anggaran tidak boleh dipotong. Kalau begitu, saya harus cari tambahan pajak Rp 397,2 triliun. Saya bisa sih nambah penerimaan, tapi saya ngejar pajak Anda ya. Saya lihat akun rekening Anda? Nah, wajah Anda kelihatan bleng semua," ujarnya.

"Kalau tidak mau ngutang, pajaknya kan harus nambah. Saya naikin pajak ya, mulai dari pedagang kecil, lalu Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) saya turunin. Lalu dibilang jangan dong, Bu, nanti malah membuat keresahan, pertambangan juga lagi lesu, tidak boleh disentuh," Sri Mulyani menambahkan.

"Kalau semuanya tidak boleh, belanja tidak boleh dipotong, tidak boleh dipajaki, tidak boleh utang, kan saya jadinya garuk-garuk kepala," katanya.

Oleh karena itu, Sri Mulyani menegaskan, bahwa berutang itu adalah sebuah pilihan. Utang tersebut, diakuinya, digunakan untuk kegiatan produktif, misalnya membangun infrastruktur, anggaran pendidikan, dan kesehatan, membayar gaji dan THR pegawai serta pensiunan PNS, membangun pembangkit listrik, dan membantu rakyat miskin.

"Jadi ini political choice dan strategic choice. You want invest or you just stop to do anything hanya for the shake of untuk tidak utang saja. Utang itu is responsible policy atau responsible decision, bukan karena kita suka atau tidak, tapi ini choice," tuturnya.

"Lebih baik saya potong (belanja), atau saya collect pajak lebih besar lagi, kemudian masyarakat panik atau kita berutang. Tapi kemudian utang itu kita yakini untuk sesuatu yang produktif tadi," Sri Mulyani meyakini.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, akan berupaya mengelola utang secara baik. Tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan utang global yang dianut seluruh negara di dunia supaya Indonesia terus maju, sejahtera, tapi tetap menjaga risiko keuangan dan utangnya.

"Pemerintah harus mengelola utang secara baik dan meyakinkan kalau masih sekian, masih baik," pungkas Sri Mulyani.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya