Peran Fintech Bantu Pembiayaan RI Rp 1.000 Triliun

RI kekurangan pembiayaan Rp 1.000 triliun per tahun yang tak bisa dipenuhi dari industri perbankan, pasar modal, perusahaan pembiayaan.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 15 Sep 2017, 19:52 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2017, 19:52 WIB
(Foto: Liputan6.com/Achmad Dwi)
Diskusi financial technology

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia kekurangan pembiayaan sekitar Rp 1.000 triliun per tahun yang tidak bisa dipenuhi baik dari industri perbankan, pasar modal, maupun perusahaan pembiayaan. Sebab itu, peran perusahaan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) diperlukan.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, indikator yang menunjukan kurangnya pembiayaan ialah suku bunga pinjaman yang tinggi.

"Indikasinya gampang kita lihat, tingkat bunga pinjaman tertinggi di kawasan ASEAN," kata dia dalam acara bertajuk How Fintech Supports Indonesian SMEs, di Jakarta, Jumat (15/9/2017).

Bukan hanya itu, kurangnya pembiyaan juga terlihat banyak istilah di berbagai daerah untuk lintah darat. Lintah darat sendiri ialah istilah yang kerap ditujukan pada pihak yang memberi pinjaman dengan bunga tinggi.

"Artinya pertanda banyak orang butuh usaha atau apapun tapi ketersediaan dana nggak ada," ujar dia.

Hendrikus menerangkan, di China, ada sekitar 4.000 fintech yang bergerak di bidang pinjam meminjam (lending) saat pertama kali merebak. Kini, jumlahnya menjadi 2.000 fintech setelah diatur. Dia menuturkan, jika penduduk Indonesia seperlima dari China, Indonesia perlu 800 fintech.

"Bayangkan misalnya penduduk Indonesia itu seperlima China, berarti seperlima kali 4.000 mungkin kita butuh 800 fintech di Indonesia," ungkap dia.

Namun, bukan berarti 800 fintech itu harus dipenuhi. Dia mengibaratkan, kendata banyak maskapai, namun pemasok pesawatnya hanya beberapa seperti Boeing dan Airbus. Oleh karena itu terpenting ialah membangun fintech yang kuat.

"Jadi jangan juga kawan-kawan memikirkan 'ayo bangun coding dari awal'. Jangan, nanti Anda ketinggalan," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Nilai Bisnis Fintech di Indonesia

Pengguna layanan financial technology (fintech) di Indonesia diprediksi mencapai 17 juta, dengan nilai bisnis mencapai Rp 1 kuadriliun per tahun. Hal ini diungkap Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Dimitri Mahayana dalam paparan surveinya.

"Merujuk data ini, jika pengguna internet di Indonesia mencapai 130 juta, asumsinya sekitar 10-15 persen sudah memakai layanan fintech. Hitungan kami, jumlah pengguna fintech berkisar 13-17 juta," ujar Dimitri ditemui Tekno Liputan6.com di Bandung beberapa waktu lalu.

Fintech atau teknologi finansial adalah suatu inovasi di mana sektor finansial telah mengadopsi teknologi modern pada layanannya.

Dimitri melanjutkan, pengetahuan masyarakat terhadap fintech semakin berkembang. Hal ini ditunjang dengan kehadiran layanan yang cepat mengimbangi industri perbankan dan keuangan yang sudah mapan puluhan tahun lamanya.

Survei menunjukkan, responden puas terhadap fintech karena layanannya mudah digunakan dan sangat cepat. Fintech sudah mampu memberikan layanan sekali klik, dengan waktu proses antara 1-5 detik, bahkan ada yang mampu 0,1 detik.

"Selain mudah, mereka juga tak perlu pergi ke bank. Banyak Usaha Kecil Menengah (UKM) senang dengan ini. Mereka memuji layanan e-money karena bisa sambil jualan, dan keuangan beres. Kalau masih harus datang ke bank, dagangannya harus ditinggal," sambungnya.

Situasi ini bisa mendongkrak perputaran nilai bisnis fintech di Indonesia mencapai Rp1 kuadraliun per tahun. Saat ini saja, nilai bisnisnya diperkirakan baru mencapai 25 persen dari total tersebut, baik untuk jenis pembayaran (payment) maupun pinjaman (loan).

Salah satu gambaran sukses adopsi fintech adalah penjualan berbasis pesanan ojek online dari Martabak Andir, Bandung, bisa mencapai Rp 4 juta per hari atau sekitar Rp 120 juta perebulan.

Demikian pula dengan ibu rumah tangga yang berbisnis sampingan di rumah mengandalkan jasa kurir. Dimitri mencontohkan tetangganya sendiri yang mampu menjual hingga 1.000 selimut per bulan dengan bertumpu pada pembayaran online.

"Dari semuanya itu, yang perlu diwaspadai adalah sistem keamanannya. Risikonya adalah adanya serangan ke sistem keamanan. Ini sudah terjadi pada sebuah web ticketing yang dibobol miliaran rupiah," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya