Liputan6.com, Jakarta - Pasar properti masih menghadapi tantangan pada tahun ini. Industri properti terkena imbas pelemahan ekonomi global sehingga pertumbuhannya diproyeksi tak terlalu kuat sampai akhir tahun.
Demikian disampaikan CEO PT Leads Property Services Indonesia Hendra Hartono di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Rabu (20/9/2017).
"Kalau sebenarnya ditanya tahun ini tahun penuh tantangan. Kita pikir tahun 2017 tahun properti membaik, ada pelemahan ekonomi global, tahun lalu iya juga. Faktor dari makro ekonomi. Kita anggap kuartal 2 membaik, kenyataannya enggak juga. Orang masih wait and see semua, masih slow down," jelas dia.
Advertisement
Baca Juga
Namun, dia menuturkan, itu bukan berarti daya beli konsumen menghilang. Lantaran, terdapat fenomena di pasar di mana ada produk properti yang tetap diburu konsumen.
"Terjadi fenomena di pasar misalnya, 57 Promenade jualan, laku sekali. Sehingga orang lain nggak berani launching. Kesimpulannya apa, ada kemampuan beli di pasar. Tapi orang takut, wait and see," ungkap dia.
Meski penuh tantangan, pihaknya memberi apresiasi lantaran masih ada pemain lokal yang masih giat membangun properti.
"Kalau ditanya overall pemain properti setahun dua tahun terakhir tiarap, enggak banyak. Justru pengembang asing yang masuk ke Indonesia cari opportunity. Tahun ini walaupun slowdown kita cukup appreciate juga masih banyak pemain yang baru yang aktif dan kelihatan yang mendominasi pasar di situasi yang sulit ini," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Ceruk Bisnis Properti di Indonesia Masih Sangat Besar
Indonesia memiliki potensi yang besar untuk pengembangan pasar properti. Pasalnya, Indonesia memiliki penduduk dengan usia produktif yang relatif besar.
CEO PT Leads Property Services Indonesia Hendra Hartono menerangkan, perekonomian dari negara yang jumlah penduduk usia produktif yang besar cenderung lebih stabil. Ini berbeda dengan Jepang yang jumlah usia produktifnya relatif kecil.
"Mereka (Jepang) tidak bisa produktif, Indonesia usia muda masih banyak, itu yang paling dilihat. Mereka punya kesempatan bekerja, memperbaiki nilai hidupnya sehingga bisa beli properti," kata dia di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Rabu 20 September 2017.
Indonesia memiliki daya beli yang cukup besar. Jika dibanding Vietnam, Indonesia memiliki daya beli lebih besar terlihat dari nilai tukar rupiah yang lebih tinggi dibandingkan mata uang Vietnam. "Itu menunjukan buying power lebih tinggi," ujar dia.
Namun, dia menuturkan, ada sejumlah kendala yang dihadapi Indonesia. Salah satunya ialah pembangunan yang terlalu terpusat di Jakarta. Alhasil, itu menyebabkan upah di Jakarta tinggi. Tapi, itu sejalan dengan biaya hidup yang relatif tinggi.
"Kalau kita lihat masalahnya itu semua konsetrasi di Jakarta, taraf hidup Jakarta sangat mahal padahal tidak ada orang Jakarta asli. Rata-rata dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung dan sebagainya. Padahal kalau nyetir 4 jam ke Purwakarta nilai UMR turun setengah dari Jakarta. Berarti apa, infrastruktur harus diperbaiki itu yang dilakukan Pak Jokowi," jelas dia.
Advertisement