Dampak Ritel Tutup, 1.200 Orang Kehilangan Pekerjaan

Ramayana, Matahari, Lotus, dan Debenhams Department Store yang mengikuti jejak 7-Eleven menghentikan operasional beberapa gerai.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 01 Nov 2017, 21:15 WIB
Diterbitkan 01 Nov 2017, 21:15 WIB
Sevel Tutup
Warga memasuki kawasan gerai 7-Eleven di kawasan Jalan Kapten Tendean, Jakarta, Sabtu (24/6). Penutupan seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia akan dilakukan 30 Juni 2017. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan sekitar 1.200 orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak 7-Eleven menutup ratusan gerainya hingga saat ini. Tercatat ada Ramayana, Matahari, Lotus, dan Debenhams Department Store yang mengikuti jejak 7-Eleven menghentikan operasional beberapa gerai.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, di Diskusi Kongkow Bisnis Pas FM dengan tema "Sejumlah Retailer Berguguran, Apakah Ini Akhir Dari Industri Ritel Konvensional" di Hotel Ibis, Jakarta, Rabu (1/11/2017).

"7-Eleven itu 167 toko, kali lima orang saja sudah 835 orang. Ditambah format lain (ritel lain), mungkin sudah sekitar 1.200 orang. Itu dari 7-Eleven dan yang lain, ya," ucapnya.

Terkait nasib ribuan pegawai yang dirumahkan tersebut, Roy mengaku pasrah. Bahkan, dia menyerahkan ini kepada pemerintah untuk memikirkan jalan keluar atau solusinya.

"Kita belum tahu, kita serahkan ke pemerintah untuk bantu memikirkannya. Kita tidak bisa mikir lagi, tidak mampu membayar," keluhnya.

Dia mengaku tidak memiliki data pasti mengenai jumlah ritel yang tutup atau akan menyusul pendahulunya menghentikan operasional dalam waktu dekat.

"Saya belum dapat data secara spesifik, tapi mulai dari 7-Eleven, dan yang lain. Ada yang relokasi bukan karena menutup toko, tapi karena sudah tidak kondusif. Atau karena restrukturisasi format, jadi tidak hanya department store, tapi ada mainan anak atau kulinernya," tutur Roy.

 

Industri ritel lesu

Lebih jauh, Roy menceritakan kinerja industri ritel modern tercatat berada di bawah atau kurang menggairahkan dalam 2,5 tahun ini. Data terakhirnya menunjukkan, pertumbuhan industri ritel pada semester I-2017 sebesar 3,7 persen atau lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu di kisaran 5-6 persen.

Dengan capaian tersebut, dia memperkirakan pertumbuhan industri ritel tahun ini hanya akan mencapai 7 persen atau turun dibanding tahun sebelumnya sebesar 9 persen. Kondisi ini berbeda dengan pertumbuhan pada 2012-2013 yang menembus 14-15 persen.

"Ini menggambarkan ritel masih tumbuh tapi melambat. Banyak yang tutup karena mereka ingin restrukturisasi karena pendapatan lebih kecil dari biaya. Itu terjadi karena belanja konsumen lebih kecil, sehingga tidak berkontribusi ke pendapatan, jadi bukan karena daya beli yang rendah tapi ada perubahan perilaku konsumen," jelasnya.

Roy memprediksi, kinerja industri ritel masih akan kurang menggairahkan (underperform) hingga usai pemilihan presiden dan wapres (pilpres) pada 2019.

"Masih akan terjadi tahun depan, apalagi masuk tahun politik. Jadi, sampai 2019 dan baru bisa menarik napas lega di 2019," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya