Liputan6.com, Jakarta - Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Thailand dalam hal sertifikasi dan standardisasi industri yang dikenal dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal ini terjadi karena rendahnya kesadaran terhadap pentingnya standardisasi produk industri, serta minimnya jumlah laboratorium uji produk di dalam negeri.
General Manager PT Qualis Indonesia, Calvin Satyanandi, mengatakan, saat ini Indonesia baru menerapkan standar nasional atau SNI untuk 105 item produk, sedangkan negara industri pesaing Indonesia, yaitu Thailand, sudah menerapkan standar untuk 1.000 item produk yang beredar di negara tersebut.
Advertisement
Baca Juga
"Kita kalah dengan negara lain, SNI kita baru 100-an item, sedangkan Thailand saja sudah 1.000 item," ujar dia dalam acara Indonesia Quality and Safety Forum, di Jakarta, Rabu (29/11/2017).
Selain itu, sambung Calvin, kualitas pengujian di Badan Standardisasi Nasional (BSN) masih rendah. Ini diakuinya sebagai bukti bahwa masyarakat Indonesia tidak peduli terhadap SNI.
"Coba kita kembangkan karena dengan SNI sebenarnya bisa meningkatkan kualitas produk nasional," ucapnya.
Bukan hanya kalah dengan Thailand, dalam standardisasi produk industri, Calvin menambahkan, Indonesia juga masih tertinggal dari Malaysia dan China. Sebagai perbandingan, jumlah laboratorium uji produk di China telah mencapai ribuan laboratorium, sedangkan di Indonesia masih berjumlah puluhan laboratorium.
"Dibanding Malaysia dan China, kita juga kalah karena dari industri tidak mendukung dan infrastrukturnya. Di China laboratoriumnya ada ribuan dan itu milik swasta. Tapi di Indonesia dominasinya hanya pemerintah, sekitar 80 laboratorium," terangnya.
Menurut Calvin, rendahnya standardisasi ini berdampak pada potensi ekspor produk Indonesia. Sebab, untuk memasuki pasar ekspor, suatu produk dituntut untuk memenuhi standar tertentu, khususnya terkait dengan kesehatan dan lingkungan.
"(Menghambat ekspor?) Salah satunya begitu, para eksportir ini juga kan harus tes di negara asal," ucap dia.
Kepala Badan Standardisasi Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Yan Sibarang mengatakan, standardisasi produk melalui SNI memang menjadi satu-satunya alat untuk melindungi produk lokal dari gempuran produk asing, serta bertujuan melindungi konsumen di dalam negeri.
Namun, sayangnya, dari ribuan produk industri yang beredar di Indonesia, hanya 105 produk yang diwajibkan untuk memenuhi SNI. Adapun sisanya belum memiliki kejelasan soal standar dan sertifikasinya.‎‎"Saat ini ada 105 SNI wajib yang diberlakukan untuk industri manufaktur. Ke depan, akan terus ditingkatkan supaya kepentingan industri kita terakomodasi dan perlindungan konsumen," tandas dia.‎
Tonton Video Pilihan Ini:
RI Gandeng Singapura Buat Standar dan Inovasi Industri
Indonesia dan Singapura tengah menyusun standar keamanan dan inovasi bagi industri di Tanah Air. Hal tersebut dilakukan agar lebih banyak produk Indonesia yang bisa diekspor ke Negeri Singa tersebut.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, industri nasional, seperti industri makanan dan minuman (mamin) perlu terus melakukan upaya-upaya strategis untuk semakin memacu daya saingnya agar mampu berkompetisi di tingkat global.
Langkah yang perlu dijalankan, antara lain peningkatan mutu dan produktivitas serta efisiensi di seluruh rantai nilai produksi. Selain itu, sejalan dengan peningkatan kompetensi sumber daya manusia serta kegiatan penelitian dan pengembangan di sektor tersebut.
"Pemerintah telah berkomitmen dalam menyiapkan tenaga kerja yang terampil melalui penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), pengembangan lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi, serta program pembinaan dan pengembangan SMK berbasis kompetensi yang link and match dengan industri," ujar Airlangga dalam orasi ilmiah di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, seperti ditulis Minggu (26/11/2017).
Airlangga menyatakan, saat ini pihaknya tengah memfokuskan pengembangan industri makanan dan minuman nasional melalui penerapan standar keamanan dan menciptakan inovasi produk, terutama dalam menghadapi era ekonomi digital.
"Dengan upaya ini, kami berharap dapat memperluas pasar, tidak hanya domestik, tetapi juga ke negara tujuan ekspor," lanjut dia.
Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan otoritas keamanan pangan Singapura telah sepakat untuk menyusun standar keamanan dan inovasi agar bisa mendongkrak nilai ekspor produk makanan dan minuman nasional.
"Saya telah berdiskusi dengan PM Singapura, kita akan bekerja sama membangun standar yang sama. Mereka mendukung kita untuk mengekspor lebih banyak produk makanan dan minuman. Ada berbagai macam yang akan diatur mulai dari daya tahan makanan sampai inovasi pengemasan," jelas Airlangga.
Standar baku untuk inovasi dan keamanan pangan tersebut ditargetkan dapat segera dirilis pada tahun depan. Dia menuturkan, Indonesia menggandeng Singapura untuk penyusunan dokumen tersebut karena negara itu memiliki pasar ekspor yang luas, sedangkan Indonesia memiliki produk makanan dan minuman dengan economic of scale yang lebih tinggi sehingga lebih efisien.
Airlangga menambahkan, pemerintah tengah mengkaji mengenai pemberian insentif untuk kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang industri guna meningkatkan jumlah inovasi. "Ke depan, inovasi di Indonesia nilai tambahnya akan tinggi," ungkap dia.
Saat ini indeks global untuk bidang riset dan inovasi industri di Indonesia masih berada di posisi ke-80 dari seluruh negara di dunia. Berbeda dengan capaian indeks kemudahan berinvestasi di Indonesia yang melompat hampir 40 peringkat dalam waktu dua tahun dari urutan ke-110 menjadi posisi ke-72.
Airlangga mencontohkan kebijakan inovasi yang dilakukan oleh Thailand, dengan berani memberikan insentif kepada industri hingga 300 persen. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia tengah mendorong perekonomian nasional yang diperkuat dengan inovasi dan pendidikan vokasi industri.
"Karena inovasi dan pendidikan vokasi adalah dua hal yang bisa meningkatkan daya saing Indonesia," kata dia.
Advertisement