Liputan6.com, Jakarta - Krisis 1998 dan 2008 menjadi bayang-bayang perekonomian Indonesia dan negara lain. Dunia diminta waspada akan terjadinya siklus krisis 10 tahunan yang akan terjadi pada 2018.
Namun, Indonesia dan negara anggota G20 lain telah berupaya mendeteksi sejak dini indikator kerapuhan sehingga dapat dicarikan kebijakan yang tepat.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Sri Soelistyowati mengungkapkan, krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 dan 2008 mendorong negara-negara anggota G20, termasuk Indonesia sepakat menyusun data gap inisiatif.
Advertisement
Baca Juga
"Jadi negara G20 dan BPS Indonesia sebagai leader-nya sedang menyusun yang namanya sectoral account and balance sheet," kata dia saat acara Workshop Peningkatan Wawasan Statistik Kepada Media di Bogor, Minggu (10/12/2017).
Sectoral account and balance sheet ini, diakui Sri, menjadi alat untuk meneliti indikator kerapuhan ekonomi dunia. Indikator utamanya adalah memonitor rasio utang pemerintah dan badan usaha lain.
"Kita susun sectoral account and balance sheet ini dari neraca produksi sampai ke neraca finansial. Itu link ke 20 negara, misalnya di Amerika ada instrumen apa yang naik, nanti nge-link," jelasnya.
Dengan upaya bersama ini, Sri menambahkan, jika akan terjadi krisis, sudah terdeteksi sejak awal dan regulator dapat bergerak cepat mencari solusi maupun mengambil kebijakan tepat. "Kalau ada masalah terkait instrumen siklus 10 tahun sudah terdeteksi dari awal sehingga dicarikan obatnya dan kebijakan untuk menahannya," paparnya.
Lebih jauh kata Sri, Indonesia dan negara lain anggota G20 sedang dalam tahap penyusunan sectoral account and balance sheet tersebut. Targetnya tahun depan, 20 negara yang menguasai 80 perekonomian dunia ini akan mulai menyerahkan hal itu.
"Tahun depan semua negara G20 termasuk Indonesia bisa submit sectoran account and balance sheet. Supaya sinyal-sinyal krisis bisa ditangkap dan mencari solusi, sehingga kejadian siklus 10 tahunan tidak terjadi. Kalau terjadi pun sudah disiapkan antisipasinya, sehingga dampaknya minim," jelasnya.
Sementara dari sisi fundamental ekonomi Indonesia, Sri menilai sangat oke. Pertumbuhan ekonomi masih positif 5 persen. Inflasi terjaga rendah dengan perkiraan di bawah 4 persen di 2017, dan indikator makro ekonomi lainnya. "Tapi yang perlu diwaspadai adalah kebijakan negara lain, karena ekonomi kita kan terbuka. Jika ada negara besar memberikan shock, kita juga ikut terpengaruh. Tapi di 2008, krisis yang melanda, Indonesia masih bisa survive dengan pertumbuhan ekonomi positif," paparnya.
Untuk diketahui, siklus krisis ekonomi 10 tahunan sering menjadi topik perbincangan hangat, terutama mengingat trauma yang masih membekas akibat krisis ekonomi Asia di 1998 dan krisis ekonomi global pada 2008. Tahun yang berakhir dengan angka 8 seakan menghantui, terutama bagi kita yang ada di Indonesia.
Banyak analisis ekonomi menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia maupun dunia pada 2018 sebenarnya cukup berbeda dengan tahun 1998 dan 2008.
Namun, seringkali analisis berdasarkan fakta dan data tersebut masih belum berhasil menenangkan kecemasan para investor. Maka, mungkin jalan paling mudah untuk mematahkan pandangan siklus 10 tahunan adalah dengan menunjukkan bahwa sebenarnya siklus tersebut mungkin kurang tepat.
Selanjutnya
Menilik pertumbuhan ekonomi riil Indonesia sejak 1961 hingga 2016, resesi ekonomi di tahun yang berakhir dengan angka 8 hanya terjadi pada 1998 dan 2008. Bahkan pada saat krisis ekonomi global pada 2008-2009, sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlalu terdampak.
Pada 1968, 1978 dan 1988, di mana ketiga tahun tersebut berakhir dengan angka 8, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung kuat. Yakni ekonomi Indonesia tumbuh 10,9 persen pada 1968, kemudian 6,8 persen di 1978, dan 5,8 persen di 1988.
Sebelum 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif rendah tidak pernah terjadi di tahun yang berakhir dengan angka 8 (1963, 1965, 1967, 1982 dan 1985). Sejak 1961 hingga saat ini, hanya terdapat 2 tahun di mana Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, yaitu tahun 1963 dan 1998. Hal serupa juga ditemukan saat menilik pertumbuhan ekonomi dunia.
Pada 2008 dan 2009, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang lemah akibat krisis global. Pada 1998, saat terjadi krisis ekonomi Asia, pertumbuhan ekonomi global mengalami sedikit penurunan di angka 2,5 persen. Kemudian pada tiga tahun yang berakhir dengan angka 8, yakni tahun 1968, 1978 dan 1988 mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang relatif mapan masing-masing 6,2 persen, 4 persen, dan 4,7 persen.
Selain tahun 1998 dan 2008-2009, pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia terjadi pada 1975 yang sebesar 0,8 persen, kemudian 1991 (1,4 persen), 1998 (2,5 persen) dan 2001 (1,9 persen), di mana tahun-tahun tersebut tidak ada satupun yang berakhir dengan angka 8.
Bahkan sejak 1961 hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi dunia yang negatif hanya terjadi satu kali, yaitu pada 2009. Melihat data pertumbuhan ekonomi baik Indonesia maupun dunia, terlihat bahwa sebenarnya pandangan siklus 10 tahunan mungkin kurang tepat.
Memang harus diakui bahwa ekonomi dunia mengalami siklus. Namun, tidak terlihat sebuah kepastian bahwa siklus tersebut terulang setiap 10 tahun dan tentunya tahun yang berakhir dengan angka 8 tidak terlihat sekeramat yang banyak dibahas.
Advertisement