Liputan6.com, Bogor - Badan Pusat Statistik (BPS) berkomitmen independensi data yang dihasilkan, termasuk inflasi, kinerja ekspor impor, serta pertumbuhan ekonomi. Tanpa itu, bukan saja integritas lembaga yang hancur, tapi juga akan membahayakan Indonesia.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Sri Soelistyowati menceritakan pengalamannya saat melaporkan rutin data realisasi pertumbuhan ekonomi kepada publik. Capaian tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi, sehingga mengakibatkan pasar modal dan pasar uang terkontraksi.
"Dua tahun lalu sehabis rilis Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, saya nangis. Ekonom memprediksi pertumbuhan ekonomi kita 4,8 persen, tapi kami umumkan 4,6 persen berdasarkan data-data. Ada selisih 0,2 persen yang membuat harga saham berjatuhan, kurs rupiah terjun bebas," tutur dia di acara Workshop Peningkatan Wawasan Statistik Kepada Media di Bogor, Sabtu (9/12/2017).
Advertisement
Baca Juga
Selanjutnya, Sri mengaku, sempat dihubungi para pemodal atau investor yang kecewa dengan data realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Pemodal bilang ke saya, kenapa sih BPS tidak mau berbohong sedikit saja. Saya katakan tidak bisa, karena kami perlu menjaga independensi data maupun lembaga," kata dia.
Dia beralasan, jika data maupun institusi BPS diintervensi oleh sekelompok orang, maka bukan hanya kredibilitas dan nama baik BPS yang akan tercoreng, tapi juga membahayakan Indonesia.
"Kalau sampai kami kena intervensi, bukan cuma BPS yang jatuh, Indonesia juga bisa bahaya. Kurs bisa jatuh, ngeluarin obligasi tidak dipercaya investor. Presiden dan Menteri saja tidak akan intervensi kami, karena perlu dijaga independensinya," jelas Sri.
Kisah lainnya, Sri mengakui, pengumuman pertumbuhan ekonomi kuartalan yang pernah maju atau lebih cepat menjadi tanggal 2. Akibat hal itu, BPS mendapat serbuan surat elektronik dari negara lain yang mempertanyakan ekonomi Indonesia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Gelar Sensus Penduduk 2020, BPS Bakal Pakai Data E-KTP
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) akan menggelar Sensus Penduduk (SP) pada 2020. Survei besar ini akan menjangkau 270 juta penduduk di seluruh wilayah Indonesia dan pertama kalinya akan menggunakan data administrasi kependudukan atau e-KTP yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kepala BPS, Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengungkapkan, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 1997, BPS wajib menyelenggarakan Sensus Penduduk setiap 10 tahun sekali dan dilaksanakan pada tahun berakhiran nol. Sensus Penduduk 2020 merupakan SP ke-7 sejak pertama kali digelar pada 1961.
"SP memotret terkini dan masalah yang dihadapi bangsa ini. Data paling utama dari SP, antara lain vertilitas, mortalitas, dan migrasi yang berguna untuk mengambil kebijakan dalam upaya pengendalian jumlah penduduk, penyediaan sarana pemukiman, sanitasi, dan pendidikan," kata dia di Seminar Internasional di kantor pusat BPS, Jakarta, Selasa 14 November 2017.
Kecuk mengatakan, dalam Sensus Penduduk pada 2020, BPS akan pertama kalinya menggunakan data administrasi kependudukan dari Kemendagri, selain memakai metode tradisional. Hal ini sesuai rekomendasi Persatuan Bangsa-bangsa (PBB).
"Kami akan sesuaikan cakupan sebagaimana rekomendasi PBB supaya BPS tidak hanya menggunakan metode tradisional dalam SP, tapi juga data administrasi penduduk Kemendagri. Jadi perpaduan registrasi penduduk dan pendataan sensus, ini pertama kalinya," tutur Kecuk.
Penggunaan data administrasi kependudukan dalam SP 2020, diakuinya bukan tanpa alasan. Pasalnya selama ini masih ada masalah yang dihadapi Indonesia mengenai data kependudukan. Data penduduk Indonesia, sambung Kecuk berasal dari BPS, yakni hasil SP serta data e-KTP dari Kemendagri.
"Perbedaan konsep dan definisi penduduk yang digunakan dua instansi menjadi penyebab kenapa masih ada perbedaan data. Perbedaan ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat dan pengguna data. Jadi kami harus segera mengakhiri perbedaan ini dan bisa membuat data tunggal yang dapat digunakan untuk mengambil kebijakan," ujar dia.
Dengan memanfaatkan data tersebut, Kecuk berharap, pemerintah bisa memperoleh data kependudukan tunggal yang dapat diakses seluruh pihak. Kerja sama dengan Kemendagri dan seluruh pemangku kepentingan diharapkan mampu memutus rantai masalah yang muncul saat ini.
Dia menuturkan, BPS melakukan survei atas 43 variabel dalam SP 2010, di antaranya nama, NIK, umur, pendidikan, status, pekerjaan, migrasi, suku, bahasa, dan lainnya. Untuk SP 2020, belum membahas secara detail. Namun data SP 2020 mempunyai peran penting dalam upaya pemerintah mencapai target SDG's (Sustainable Development Goals).
"Dengan data SP yang berkualitas, pemerintah dapat bergerak merencanakan program pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan SDG's yang sudah disepakati dunia internasional," jelas Kecuk.
Terkait dengan anggaran SP 2020, dia mengaku belum menghitungnya. Termasuk dengan kapan pelaksanaan sensus, apakah di Mei atau Juni sampai kepada jumlah pencacah dan petugas BPS yang akan diterjunkan. Akan tetapi, berkaca pada penyelenggaraan Sensus Ekonomi, kebutuhan anggaran mendekati Rp 3 triliun.
"Kami belum menghitung anggaran SP 2020, karena ini masih tahap awal persiapan. Kami baru akan mengajukannya tahun depan. Tapi kalau SE terakhir ini, hampir Rp 3 triliun dan itu sebagian besar untuk pencacah di seluruh Indonesia, melatih mereka memahami kuesioner, dan lainnya," kata dia.
Advertisement