Kepala BKPM: Regulasi yang Sedikit Bisa Tekan Korupsi

Hampir semua negara pernah mengalami masa korupsi akut, tak terkecuali negara maju.

oleh Nurmayanti diperbarui 13 Des 2017, 13:35 WIB
Diterbitkan 13 Des 2017, 13:35 WIB
Ilustrasi Korupsi
Ilustrasi Korupsi

Liputan6.com, Jakarta Keterlibatan banyak pihak dalam praktik melawan korupsi harus menjadi prioritas utama jika Indonesia ingin mencapai pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Semua pihak diminta harus bekerja sama, di mana pemerintah memiliki peranan penting dan menjadi motor penggerak utama.

Keterlibatan semua pihak juga diperlukan agar masyarakat tidak lagi terjebak dalam mitos yang keliru bahwa korupsi telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Adapun Hari Antikorupsi Internasional baru saja diperingati pada 9 Desember 2017.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, mengatakan, sejak reformasi Indonesia sudah berkembang positif dalam hal pembenahan internal. Namun, korupsi secara keseluruhan masih banyak yang harus dibereskan.

Belajar dari negara lain, pembangunan sistem dilakukan melalui pengelolaan meritokrasi jabatan (bebas nepotisme), penyederhanaan birokrasi dan regulasi, serta keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

”Semakin sedikit regulasi dan sederhana birokrasi tingkat korupsi kian rendah. Pun sebaliknya semakin banyak regulasi, korupsi makin tinggi. Regulasi itu bisa dimonetisasi," jelas Thomas yang merupakan Alumni Harvard University Angkatan 1994, Rabu (13/12/2017).

Pengendalian korupsi juga harus konsisten dan berkelanjutan. Apalagi, faktanya hampir semua negara pernah mengalami masa korupsi akut, tak terkecuali negara maju dengan tingkat korupsi rendah seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia.

“Tidak ada satu senjata pamungkas untuk memberantas korupsi di negara mana pun. Semua pihak harus bekerja dan bergerak bersama-sama dan pemerintah memiliki peranan penting untuk menggerakkan mereka,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang Hukum dan Regulasi Melli Darsa.

Dia menjelaskan, semua pihak dan anggota masyarakat mulai dari pemerintah, masyarakat, swasta, BUMN dan lainnya perlu bergerak bersama-sama dalam pengendalian korupsi di Indonesia.

Melli Darsa yang juga perwakilan Harvard Club of Indonesia sekaligus Founder & Senior Partner Firma Hukum Melli Darsa & Co mengatakan, alumni Harvard University dari Indonesia terdorong untuk mengadakan diskusi bertajuk “The Global Fight Against Corruption. 

Diskusi ini sebagai bentuk dukungan publik terhadap penguatan transparansi, upaya pemberantasan korupsi dan transformasi institusi yang inklusif sesuai hukum. Diskusi mengundang seorang Profesor Hukum dari Harvard Law School, Amerika Serikat, Profesor Matthew Stephenson.

Stephenson menjelaskan, pemberantasan dan penanggulangan korupsi tidak memiliki metode khusus yang tetap dan saklek. Hal ini karena setiap negara memiliki cara pandang terhadap korupsi yang berbeda-beda dan juga pendekatan budaya yang tak bisa diseragamkan.

Stephenson juga menjelaskan, masyarakat bisa turut andil dalam pemberantasan korupsi di suatu negara. Hal ini karena umumnya masyarakat memiliki kepedulian dan pemahaman terhadap integritas lalu melalui peer pressure pengendalian korupsi dapat diperkuat.

Bentuk tekanan dari masyarakat dapat dilakukan secara individual, aktivitas komersial, hingga penggunaan hak politik saat pemilihan umum.

"Seiring dengan perbaikan kondisi keuangan negara sehingga pemerintah punya dana untuk mendanai kegiatan anti korupsi dengan lebih baik, tekanan dari masyarakat yang semakin peduli dan punya awareness terhadap integritas bisa mendorong Indonesia terus konsisten mengendalikan korupsi," sambung Stephenson.

Pendekatan lain dalam pengendalian korupsi adalah dengan memberikan insentif yang tinggi kepada aparatur negara, perbaikan sistem rekrutmen, penilaian kinerja dengan sistem meritokrasi, memperbaiki sistem dan infrastruktur kebijakan reformasi birokrasi, serta penegakan upaya antikorupsi.

 

Korupsi Tak Ada Metode Khusus.

Stephenson menjelaskan, pemberantasan dan penanggulangan korupsi tidak memiliki metode khusus yang tetap dan saklek. Hal ini karena setiap negara memiliki cara pandang terhadap korupsi yang berbeda-beda dan juga pendekatan budaya yang tak bisa diseragamkan.

Stephenson juga menjelaskan, masyarakat bisa turut andil dalam pemberantasan korupsi di suatu negara. Hal ini karena umumnya masyarakat memiliki kepedulian dan pemahaman terhadap integritas lalu melalui peer pressure pengendalian korupsi dapat diperkuat.

Bentuk tekanan dari masyarakat dapat dilakukan secara individual, aktivitas komersial, hingga penggunaan hak politik saat pemilihan umum.

"Seiring dengan perbaikan kondisi keuangan negara sehingga pemerintah punya dana untuk mendanai kegiatan anti korupsi dengan lebih baik, tekanan dari masyarakat yang semakin peduli dan punya awareness terhadap integritas bisa mendorong Indonesia terus konsisten mengendalikan korupsi," sambung Stephenson.

Pendekatan lain dalam pengendalian korupsi adalah dengan memberikan insentif yang tinggi kepada aparatur negara, perbaikan sistem rekrutmen, penilaian kinerja dengan sistem meritokrasi, memperbaiki sistem dan infrastruktur kebijakan reformasi birokrasi, serta penegakan upaya antikorupsi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya