Kejar Pertumbuhan Ekonomi, RI Harus Fokus ke Industri Manufaktur

Negara tetangga Indonesia seperti Filipina dan Vietnam bisa mencapai kenaikan pertumbuhan ekonomi karena mengedepankan sektor manufaktur.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 07 Feb 2018, 20:14 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2018, 20:14 WIB
Pabrik Sokon
Pabrik Sokon ini dirancang untuk memproduksi mobil sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), serta kendaraan niaga ringan.(Herdi/Liputan6.com)
Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berada di angka 5 persen. Demi menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah diniai harus cepat mengembangkan industri manufaktur.
 
Pengamat Ekonomi Chatib Basri mengatakan, beberapa negara tetangga Indonesia seperti Filipina dan Vietnam bisa mencapai kenaikan pertumbuhan ekonomi karena mengedepankan sektor perdagangan dan industri berbasis manufaktur.
 
 
"Saya kasih gambaran begini. Kita lihat di negara ASEAN di kuartal III 2017, Singapura ekonominya sudah tumbuh 5,2 persen, lompat dari 3 persen. Thailand di angka 6 persen, Malaysia tumbuh 6,2 persen. Filipina 6,9 persen, sementara Vietnam sudah tumbuh 7,5 persen. Mereka basis industrinya adalah manufacturing," tutur dia di acara Mandiri Investment Forum di Jakarta, Rabu (7/2/2018).
 
Dia juga turut mengungkapkan beberapa faktor yang membuat industri manufaktur itu baik untuk diutamakan.
 
"Manufacturing itu makronya secara fundamental inflasinya terkontrol, balancing payment-nya baik. Jadi dari segi makronya sudah oke," dia mengatakan.
 
Namun begitu, menurut Chatib, Indonesia tidak perlu gegabah untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
 
Mantan Menteri Keuangan itu menyarankan agar negara mengambil jalan tengah, lewat industri [manufaktur ]( 3210627 "")yang didukung human capital.
 
"Apa contohnya? Garmen. Ambil contoh dari produk seperti batik dan berbagai kerajinan lainnya. Market seperti ini yang harus dimanfaatkan," ungkap dia.
 
Chatib menutupi, sektor industri manufaktur dapat dikedepankan karena secara risiko juga relatif terhitung lebih aman.
 
"Buat bank sebagai pihak yang membiayai juga resikonya relatif lebih kecil, karena volatilitasnya kecil. Bandingkan dengan kita membiayai sektor national recources, yang tiba-tiba dari 6 bulan fluktualisasinya berbalik," papar dia.
 
"Kalau manufacturing itu lebih predictable. Itu kemudian yang menjelaskan kita harus lebih fokus pada sektor manufacturing," pungkasnya.
 
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
 

Kekurangan Miliarder Manufaktur, RI Sulit Kejar Taiwan dan Korea

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyinggung daftar orang-orang terkaya di Indonesia versi Forbes yang didominasi pada kegiatan bisnis sumber daya alam, consumer goods, dan rokok. Sementara di industri manuktur jumlahnya masih minim.

"Sangat sedikit sekali konglomerat kita yang basisnya manufaktur," kata Bambang usai menghadiri Outlook Pasar Modal 2018 di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Dia mencontohkan, daftar 100 atau 500 orang terkaya Indonesia yang dikeluarkan Forbes menunjukkan sebagian besar merupakan konglomerat di sektor sumber daya alam, seperti perkebunan dan pertambangan.

Selanjutnya yang berkecimpung di sektor consumer goods yang terdapat unsur industri manufaktur, namun terbatas pada pengolahan makanan dan minuman. Berikutnya adalah pengusaha rokok.

"Konglomerat di industri tekstil, garmen ada sih tapi jumlahnya sedikit," ujar Bambang.

Hal ini, diakui mantan Menteri Keuangan itu yang membedakan antara Indonesia dengan Taiwan dan Korea. "Dua negara itu bisa menjadi negara maju dalam waktu cepat, tapi kenapa kita malah susah payah. Itu karena manufaktur masih menghambat," tegasnya.

Bambang menjelaskan, manufaktur Indonesia kurang terdiversifikasi sehingga menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kondisi tersebut bisa dibandingkan dengan dua negara, yakni Sri Lanka dan Vietnam.

Lebih jauh katanya, Sri Lanka mulanya seperti Indonesia mengembangkan industri manufaktur dan mulai banyak ekspor produk. Akan tetapi suatu ketika memutuskan berhenti pada diversifikasi manufaktur, dan memilih fokus pada pengembangan industri garmen.

"Mereka mendorong upah buruh murah, tapi kan tidak akan selamanya murah karena akan ada negara lain yang bilang saya lebih murah dari Sri Lanka. Hasilnya yang terjadi relokasi pabrik," tegas Bambang.

Sementara Vietnam, sambung Bambang, kian berlari kencang. Negara ini mengembangkan industri manufaktur garmen, tekstil, lalu lompat ke elektronik, mesin, otomotif, dan lainnya.

"Jadilah Vietnam kompetitor kita untuk menarik aliran investasi asing (foreign direct invetment/FDI) di sektor manufaktur. Mereka hajar terus industri ini karena mereka tahu itu sumber pertumbuhan," paparnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya