Liputan6.com, Jakarta - Menjelang habis kontrak PT Freeport Indonesia pada 2021, produksi tambang tembaga di Papua akan fluktuasi. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut akan menggenjot produksi pada 2018.
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium Budi Gunadi Sadikin mengatakan, PT Freeport Indonesia akan memaksimalkan pengerukan bahan baku tembaga di tambang terbuka Grasberg pada 2018. Dengan kegiatan produksi yang dimaksimalkan tersebut akan berdampak terhadap pendapatan perusahaan.
"Jadi 2018 untung dan revenue akan besar," kata dia dalam sebuah diskusi pertambangan, di Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Advertisement
Baca Juga
Budi melanjutkan, produksi Freeport Indonesia bakal menurun pada 2019 seiring kandungan bijih tembaga yang habis di Grasberg. Di sisi lain, kegiatan produksi tambang bawah tanah belum dimulai.
"Tapi 2019 habis yang open pit-nya. Sedangkan yang underground baru akan mulai," ‎ujar dia.
‎Budi menilai, produksi tambang tembaga di Papua tersebut akan kembali merangkak naik mulai 2020, setelah tambang bawah tanah mulai berproduksi. Diperkirakan, produksi normal terjadi pada 2022.Â
"Baru nanti yang underground-nya akan full recover 2022. Secara gradual naik pada 2020, 2021 dan akan sama lagi,‎" ujar dia.
Â
Â
Sebab Pemerintah Ingin Kuasai Saham Freeport Sebelum 2021
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkap penyebab pemerintah kukuh memiiki 51 persen saham PT Freeport Indonesia sebelum habis kontrak pada 2021.
Jonan mengatakan, jika pemerintah mengambil alih saham 51 persen setelah habis kontrak pada 2021, maka harus menempuh cara membayar nilai buku seluruh investasi yang diakukan Freeport selama beroperasi di Indonesia.‎ Hal ini telah diatur dalam Kontrak Karya (KK) antara Freeport dan pemerintah.
"Jawabannya satu bahwa kalau misalnya ditunggu 2021 ambil alih harus bayar sekurangnya nilai buku dari semua investasi Freeport dilakukan di situ," kata Jonan, di Kantor‎ Kementerian ESDM, Jakarta, Senin, 5 Maret 2018.
‎Jonan melanjutkan, jika proses tersebut yang ditempuh tidak mudah, maka akan memakan banyak waktu dan biaya yang besar.
"Nanti kalau penilaiannya pengambilalihan juga bukan saya bilang tidak mudah, makan waktu dan harus bayar karena di kontrak karya gitu," ungkap dia.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot menuturkan, dalam KK menyebutkan perusahaan berhak mengajukan perpanjangan kontrak. Poin ini multitafsir karena bisa disalahartikan dan mengakibatkan penyelesaian jalur hukum arbitrase.
"Perusahaan berhak mengajukan perpanjangan itu menjadi perhantian sendiri, kemungkinan bisa di-arbitrase," tandasnya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Advertisement