Menggali Potensi Batam Sebagai Surga Investasi dan Industri Elektronik

Batam bisa menjadi pusat pengembangan klaster industri elektronik yang bernilai tambah tinggi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 15 Apr 2018, 18:21 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2018, 18:21 WIB
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bersama Kepala Divisi Module, Assembly, and Testing PT Infineon Technologies Hari Subronto mengunjungi PT Infineon Technologies di Batam (Dok Foto: Kemenperin)
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bersama Kepala Divisi Module, Assembly, and Testing PT Infineon Technologies Hari Subronto mengunjungi PT Infineon Technologies di Batam (Dok Foto: Kemenperin)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong Batam menjadi pusat pengembangan klaster industri elektronik yang bernilai tambah tinggi. Upaya ini untuk mendukung implementasi Making Indonesia 4.0, karena industri elektronik merupakan salah satu dari lima sektor manufaktur yang akan menjadi percontohan dalam penerapan teknologi di era revolusi industri keempat.

“Hingga sekarang yang telah berkembang di Batam itu industri berbasis perkapalan, yang juga mensyuplai marine offshore. Sektor ini terpengaruh dengan siklus harga minyak,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto dalam keterangan resminya di Jakarta, Minggu (15/4/2018). 

Dengan merosotnya harga minyak mentah dunia beberapa waktu lalu, pertumbuhan sektor industri galangan kapal di Batam sempat menurun.

“Saat ini, perekonomian Batam hanya dua persen. Untuk itu, kami tengah memacu daya saing industri berbasis elektronik. Selain itu, yang juga menjadi potensi adalah industri maintenance, repair, and overhaul (MRO),” paparnya.

Peluang besar memajukan industri elektronik di Batam, diyakini Airlangga Hartarto, karena di kota tersebut terdapat kawasan industri yang 70 persennya diisi oleh produsen elektronik beserta penghasil beragam komponen pendukungnya.

“Ini yang akan kami dorong siklusnya untuk melengkapi industri elektronik di Batam, dari industri recycle sampai yang memiliki nilai tambah tinggi,” tuturnya.

Contohnya, di kawasan industri Batamindo, telah berdiri PT Infineon Technologies sejak 1999 yang memproduksi semi konduktor dan solusi sistem untuk kebutuhan komponen elektronik di sektor otomotif, komunikasi dan energi. Salah satu produk unggulan dari perusahaan asal Jerman ini adalah mikroelektronik yang diaplikasikan pada powertrain kendaraan untuk efisiensi mesin listrik atau hibrida.

“Perusahaan ini sebagai top three di dunia. Di bidang energi, produknya nomor satu di pasar. Mereka mampu memenuhi kebutuhan untuk komponen elektronik power plant, smartphone dan otomotif. Produk lainnya dari Infineon juga bisa diaplikasikan untuk mendukung sistem internet of things, yang menjadi salah satu ciri teknologi Industri 4.0,” ucap Airlangga.  

Secara global, Infineon memiliki 36 pusat R&D dan 18 pabrik. Keuntungan Infineon dari penjualan produk semi konduktor secara global pada 2017 diperkirakan mencapai US$ 414 miliar atau naik dibanding perolehan tahun sebelumnya sebesar US$ 339 miliar. Di kawasan Asia Pasifik, Infineon menyerap tenaga kerja sebanyak 18 ribu orang, dengan kontribusi dari Batam sekitar 2.000 karyawan.

 

 

 

 

Pengembangan Industri Perbaikan Pesawat

Menteri Perindustrian Airlangga Hatarto meninjau hanggar BAT di Bandara Hang Nadim, Batam (Dok Foto: Kemenperin)
Menteri Perindustrian Airlangga Hatarto meninjau hanggar BAT di Bandara Hang Nadim, Batam (Dok Foto: Kemenperin)

Airlangga mengunjungi lokasi industri perawatan dan perbaikan pesawat (MRO) milik Lion Group, yakni Batam Aero Technic (BAT) di area Bandara Hang Nadim, Batam. Di atas lahan seluas 28 hektare, selain menjadi bengkel untuk pemeliharaan dan perawatan pesawat, BAT juga memiliki fasilitas uji pesawat.

Pemerintah mengaku sedang mendorong tumbuhnya industri MRO di Indonesia. Hal ini lantaran masih banyak potensi pengembangan sektor ini yang diintegrasikan dengan beberapa bandara di dalam negeri.

“Seperti arahan Bapak Presiden Joko Widodo, industri perawatan pesawat ini sangat penting. Harusnya Indonesia punya daya saing tinggi dan ini menjadi peluang besar kita, dengan banyak jumlah bandara. Karena, kalau ada pesawat dari luar negeri yang rusak, bisa dirawat oleh pekerja kita,” ungkap Airlangga.

Dia menambahkan, industri penerbangan dalam negeri terus berkembang dan mengalami  pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini diindikasikan dengan kenaikan jumlah lalu lintas udara, baik penumpang maupun untuk arus barang.

“Pertumbuhan jumlah penumpang udara domestik meningkat rata-rata 15 persen per tahun selama 10 tahun terakhir, sedangkan jumlah penumpang udara internasional naik hingga sekitar delapan persen dan Indonesia adalah merupakan negara terbesar ketiga di Asia dalam pembelian pesawat udara setelah China dan India,” paparnya.

Ke depannya, bisnis industri MRO ini juga cukup menjanjikan seiring meningkatnya sektor pariwisata dan perekonomian di Tanah Air. Selain itu, adanya industri perawatan pesawat bisa menurunkan biaya dari industri penerbangan, salah satunya biaya impor komponen pesawat.

Presiden Direktur Lion Air Group Edward Sirait mengatakan, Lion Air Group sedang fokus menjalankan masterplan bisnis MRO termasuk pengembangan sumber daya manusia di BAT. Sejak beroperasi pada 2014, dari lima tahap pengembangan BAT, perusahaan sudah merampungkan satu tahap.

“Tahap pertama sudah difungsikan 4 ha, dan untuk tahap kedua adalah 3 ha. Pada tahap kedua akan dibangun hanggar untuk aircraft painting sebanyak dua unit, warehouse, dan avionic shop,” ujarnya. 

Dengan area yang telah terbangun seluas 4 ha, saat ini hangar sudah bisa menampung 12 pesawat narrow body (berbadan ramping) atau empat pesawat berbadan besar secara simultan.

Lion Group menargetkan, perluasan fasilitas BAT hingga tahap ketiga akan rampung pada 2019 dengan kemampuan memperbaiki sebanyak 38 pesawat sekaligus.

“Tahap kelima akan selesai pada periode 2022. Jumlah pekerjanya kalau sudah tiga shift kurang lebih 10.000 orang,” ungkap Edward

Selain itu, perusahaan sudah melakukan kerja sama dengan Pemerintah Kota Batam untuk membangun politeknik aviasi. Alasan Lion Group memperluas fasilitas MRO adalah untuk menangani sekitar 250 unit pesawat yang dimilikinya.

“Total nilai investasi pengembangan BAT ini diperkirakan mencapai Rp 8-9 triliun,” ucap Edward. 

Apalagi Lion Air Group berencana mendatangkan sekitar 700 unit pesawat berbagai jenis, seperti pesawat ATR, Boeing, dan Airbus untuk melayani rute domestik maupun internasional.

“Adanya fasilitas pengetesan pesawat, membuat MRO milik Lion Group menjadi yang tercanggih dan satu-satunya di Asia,” imbuhnya.

Industri Ponsel Pintar

Dok Foto: Kemenperin
Dok Foto: Kemenperin

Guna mengoptimalkan kemampuan industri elektronik di Batam, menurut Airlangga, Kemenperin terus berupaya menarik investor masuk lebih banyak agar semakin memperdalam struktur industrinya dan meningkatkan nilai tambah produknya terutama untuk memenuhi pasar ekspor.

“Kebanyakan industri di Batam itu untuk global market, karena potensinya dekat dengan Singapura dan lokasinya sangat strategis, sehingga harusnya bisa tumbuh lebih tinggi,” ujarnya.

Peluang tersebut sejalan dengan upaya pemerintah yang sedang menggenjot sektor kendaraan, seperti pengembangan mobil listrik. Selain industri elektronik, industri otomotif juga ditetapkan sebagai sektor percontohan implementasi Industri 4.0, yang diikuti pula industri makanan dan minuman, kimia, serta tekstil dan pakaian.

Lebih lanjut komponen elektronik yang juga bernilai tambah tinggi seperti yang digunakan di perangkat smartphone. Terlebih lagi, saat ini pengguna gadget semakin banyak, sehingga dapat mendorong Batam mewujudkan klaster industri yang menghasilkan multiplier effect.

“Batam ini kan jadi outsourcing untuk produksi smartphone. Isi dari smartphone kan ada chips, dan chips itu telah diproduksi di Batam,” imbuhnya.

Airlangga menyebutkan, empat langkah strategis yang telah disiapkan dan akan dijalankan dalam upaya mengakselerasi pengembangan industri elektronik di Indonesia agar mampu memasuki era Industri 4.0, yaitu menarik pemain global terkemuka dengan memberikan paket insentif menarik, mengembangkan kemampuan dalam memproduksi komponen elektronik yang bernilai tambah tinggi.

Selanjutnya, meningkatkan kompetensi tenaga kerja dalam negeri melalui berbagai program pelatihan agar semakin terampil dan inovatif sesuai kebutuhan dunia industri saat ini, serta mengembangkan pelaku industri elektronik dalam negeri yang unggul untuk mendorong transfer teknologi ke industri serupa lainnya.

“Kami juga terus berupaya agar industri elektronik di Indonesia mengurangi ketergantungan kepada bahan baku atau komponen impor. Untuk itu, kami memacu industri elektronik dalam negeri agar tidak hanya terkonsentrasi pada perakitan, tetapi juga terlibat dalam rantai nilai yang bernilai tambah tinggi,” paparnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya