Transfer Ilmu Tenaga Kerja Asing ke Pekerja RI Sulit Terwujud

Butuh pengelolaan dan aturan yang jelas untuk mengatur dana kompensasi sebagai upaya upgrading skills para pekerja Indonesia.

oleh Bawono Yadika diperbarui 28 Apr 2018, 17:15 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2018, 17:15 WIB
Diskusi di Warung Daun dengan tema Hari Buruh, Tenaga Kerja Asing dan Investasi, Sabtu (28/4/2018)
Diskusi di Warung Daun dengan tema Hari Buruh, Tenaga Kerja Asing dan Investasi, Sabtu (28/4/2018)

Liputan6.com, Jakarta - Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018, pemerintah menargetkan terjadi transfer ilmu (transfer of knowledge) dari tenaga kerja asing (TKA) kepada tenaga kerja Indonesia.

Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (indef) Bhima Yudhistira, konsep transfer ilmu tersebut sulit untuk dijalankan karena beberapa hal. Salah satunya adalah tingkat pendidikan pekerja Indonesia.

Menurutnya, mayoritas pekerja buruh di Indonesia merupakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP). Hal tersebut membuat transfer of knowledge sulit dijalankan. Pemerintah seharusnya meningkatkan dahulu pendidikan pekerja buruh tersebut, baru kemudian masuk ke tahap berikutnya dengan tranfer ilmu dari tenaga kerja asing.

"Kita tidak bisa bersaing karena 60 persen buruh ini merupakan lulusan SMP. Di dalam Perpres 20 ini ada dana kompensasi. Tiap tahun kita punya dana kompensasi Rp 1,4 triliun. Ini digunakan untuk apa? Nah sebaiknya ini upgrading skills baru kemudian transfer of knowledge," tuturnya dalam diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta (28/4/2018).

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Ichsan Firdaus menyebutkan butuh pengelolaan dan aturan yang jelas untuk mengatur dana kompensasi sebagai upaya upgrading skills tersebut.

"Kita berharap dana kompensasi asing ini benar-benar bisa digunakan untuk menaikan skills untuk tenaga kerja kita dan tidak digunakan untuk kebutuhan di luar kebutuhan tenaga kerja. Problemnya adalah perlu ada kejelasan di dalam peraturan turunan dari Peraturan Presiden tersebut," ujarnya.

Selanjutnya, Bima menjelaskan dana kompensasi tersebut dapat kemudian mendorong inovasi tenaga kerja RI dalam meningkatkan daya saing Indonesia di luar.

"Tingkat inovasi berada di posisi 87 dari 127 negara yang disurvei Global Innovation Index tahun 2017. Posisi Indonesia juga salah satu yang terendah di level ASEAN. Jika seperti ini terus yang ada TKA bakal naik signifikan. Kalau saya lihat implikasi untuk skills tenaga kerja kita ini belum kerasa, artinya penggunaan dana kompensasi ini ada yang salah," tandas Bhima.

Digugat Buruh

Presiden DPP KSPI Said Iqbal
Presiden DPP KSPI Said Iqbal. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Sebelumnya, Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bakal mengajukan uji materi (judicial review) terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA). Uji materi ini akan disodorkan ke Mahkamah Agung (MA).

Pengajuan judicial review ini direncanakan pada minggu ini dengan didampingi tim penasihat hukum dari Yusril Ihza Mahendra.

"Kami minta Pepres Nomor 20 ini dicabut, atau kalau tidak, hari Kamis ini kami akan ajukan judicial review di Mahkamah Agung," kata Presiden KSPI Said Iqbal pada 24 April 2018.

Menurutnya, Prepres tersebut tidak ada fungsinya, bahkan malah mengancam lapangan kerja bagi para pekerja Indonesia. Jika esensi Perpres tersebut untuk membatasi masuknya tenaga kerja asing, Said menyebut pemerintah sudah memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dia bahkan menduga ditekennya Pepres Nomor 20 Tahun 2018 ini menjadi salah satu paket kebijakan investasi yang disyaratkan China. Seperti diketahui, saat ini banyak proyek strategis di Indonesia di mana investornya dari China, salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Sebenarnya, kata Said, KSPI tidak anti-tenaga kerja asing. Hanya saja yang dipermasalahkan adalah adanya TKA unskill yang juga bekerja di beberapa perusahaan di Indonesia. Padahal seharusnya TKA itu khusus pekerja yang memiliki skill khusus yang tidak ada di Indonesia.

"Perpres 20 itu tidak diperlukan. Yang dibutuhkan itu pendataan, penataan dan penegakan hukum sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003. Karena nyatanya banyak TKA dari China yang justru sebagai buruh kasar," terangnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya