Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dinilai masih harus memperbaiki sistem transfer daerah dan dana desa. Ini karena terdapat perbedaan data dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Anggota DPR-RI dari fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Achmad Hatari mengatakan ada perbedaan jumlah desa penerima dana desa dari data kedua instansi tersebut.
Advertisement
Baca Juga
"Sesungguhnya jumlah desa berapa? Kemendagri dan Kemenkeu 74,9 ribu desa. BPS 75 ribu desa. Selisihnya hampir 1.000," kata Hatari dalam rapat kerja Pemerintah bersama Banggar di Gedung DPR RI, Rabu (11/7/2018).
Hatari juga meminta agar pemerintah lebih fokus terhadap tata kelola dana desa di wilayah Indonesia bagian Timur.
"Saya tambah catatan terkait transfer daerah dan dana desa diharapkan pemerintah lebih konsentrasi atas tata kelolanya terutama di kawasan Indonesia Timur," jelas dia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang hadir dalam rapat tersebut menanggapi catatan dari DPR terkait transfer daerah dan dana desa tersebut.
"Kami akan menyelidiki perbedaan data desa dari Kemendagri dan BPS. Kami gunakan data kemendagri sebanyak 74.957 desa," jelas Sri Mulyani.
Selain itu, pemerintah juga akan mempertimbangkan usulan dana desa langsung diteansfer ke kabupaten/kota oleh pemerintah pusat tanpa melalui pemerintah daerah setempat.
"Untuk masalah transfer karena diatur perda. Harapan pak Hatari agar Menkeu langsung transfer ke kabupaten / kota, kami akan lihat aturan yang berlaku."
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
SMERU: Dana Desa Jangan Hanya Buat Bangun Infrastruktur
SMERU Research Institute menyoroti program dana desa yang cenderung dipakai untuk pembangunan bersifat tangible (berwujud) semata.
Peneliti SMERU, Gema Satria menyampaikan kekhawatiran itu bila desa tidak bisa memenuhi harapan dari dana desa yang terus meningkat hingga Rp 800 juta. Padahal dana desa juga diperlukan untuk program pemberdayaan.
Dalam penelitian yang berlangsung di tiga provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Tengah (Jateng), dan Jambi ternyata, ditemukan masih banyak desa yang berfokus ke pembangunan fisik, seperti jalan.
"Belanja desa didominasi pembangunan bersifat fisik. Memang kalau fisik kenapa? Ya tidak salah juga, tapi kalau ke depannya terus bangun jalan lagi, kok rasanya desa tidak ke mana-mana, cuma jalan saja. Bahkan di satu desa ada anekdot, mereka kehabisan ide, sawah mereka mau dipagari. Mungkin nanti sawahnya di keramik," ujar dia dalam Indonesia Development Forum (IDF) pada Rabu (7/11/2018) di Jakarta.
Baca Juga
Kurangnya perencanaan juga menjadi masalah dalam pemakaian dana desa. Salah satu contoh pembangunan fisik desa bersifat sporadis.
"Jadi setiap RT ditanyai, dari pembangunannya kecil-kecil dan tidak tersambung satu sama lain dan tidak sistematis," kata dia.
Gema menyebut sekitar 60-80 persen dana desa dipakai untuk pembangunan fisik. Walaupun sudah ada desa yang mengalokasikan pemakaian dana desa untuk pembangunan fisik agar tak melewati angka 70 persen, seperti di Batanghari.
Ia menyampaikan, perlunya pembenahan perencanaan agar bergeser ke pemberdayaan, walaupun sejauh ini pembangunan fisik masih bisa terbilang wajar.
"Kegiatan bersifat pembangunan masih wajar, karena masih butuh, dan ada juga antrean dari tahun lalu yang belum terpenuhi, dan Pemerintah Desa masih terbiasa melakukan kegiatan fisik karena administrasinya lebih mudah," ujar dia.
Advertisement