Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak naik pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta). Pelaku pasar mengalihkan fokus ke kemungkinan peningkatan permintaan dari China dari fokus sebelumnya mengenai kekhawatiran akan kelebihan pasokan.
Mengutip Reuters, Rabu (25/7/2018), harga minyak mentah Brent naik 38 sen ke level USD 73.44 per barel, setelah mencapai level tinggi di aangka USD 74 pada sesi perdagangan sebelumnya.
Advertisement
Baca Juga
Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup naik 63 sen atau hampir 1 persen sehingga menetap di USD 68,52 per barel. Sepanjang perdagangan Selasa, harga minyak WTI mencapai tinggi USD 69,05 per barel.
Laporan yang menyatakan bahwa China meningkatkan belanja infrastruktur membantu mengurangi kekhawatiran bahwa ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dengan China akan mengurangi permintaan akan energi terutama minyak.
"Kenaikan belanja infrastruktur akan sangat membantu kenaikan harga minyak," jelas analis di Price Futures Group, Chicago, Phil Flynn. Ia melanjutkan, sejak masa lalu belanja infrastruktur di China selalu mendorong permintaan minyak.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perdagangan Kemarin
Pada perdagangan sebelumnya, harga minyak melemah dipicu kekhawatiran kelebihan pasokan. pelaku apsar fokus ke risiko kelebihan pasokan usai Arab Saudi dan produsen besar lainnya meningkatkan produksi meskipun ada sentimen berkurangnya pasokan dari Iran yang terkena sanksi AS.
Persediaan minyak mentah AS di pusat pengiriman di Cushing, Oklahoma naik dalam empat hari terakhir hingga Jumat lalu. Pasar juga terbebani oleh kekhawatiran tentang dampak pada pertumbuhan ekonomi global dan permintaan energi dari perselisihan perdagangan yang meningkat antara Amerika Serikat dan mitra dagangnya.
Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari 20 ekonomi terbesar dunia mengakhiri pertemuan di Buenos Aires pada akhir pekan menyerukan lebih banyak dialog untuk mencegah ketegangan perdagangan dan geopolitik yang bisa menekan pertumbuhan ekonomi.
"Risiko penurunan jangka pendek dan menengah telah meningkat," ungkap para pemimpin keuangan dalam sebuah pernyataan.
Pertemuan itu terjadi di tengah meningkatnya tensi perang perdagangan antara Amerika Serikat dan China, ekonomi terbesar di dunia, yang telah menerapkan tarif senilai USD 34 miliar satu sama lain.
Pada Jumat lalu, Presiden AS Donald Trump bahkan mengancam akan memberlakukan tarif pada semua produk China yang masuk ke AS yang mencapai USD 500 miliar, kecuali Negeri Tirai Bambu itu menyetujui perubahan besar pada transfer teknologi, subsidi industri dan kebijakan joint venture.
Advertisement