Gara-Gara Perang Dagang, Semua Negara Sibuk Saling Lobi

Amerika Serikat mengenakan tarif bea masuk barang impor kepada beberapa negara telah memicu kekhawatiran secara global.

oleh Merdeka.com diperbarui 26 Jul 2018, 18:32 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2018, 18:32 WIB
Kinerja Ekspor dan Impor RI
Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja kembali dari pertemuan tingkat menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 pada 21 dan 22 Juli 2018 di Argentina. Pertemuan tersebut menjadi wadah bagi anggota G20 untuk mendiskusikan kondisi ekonomi global saat ini.

Sri Mulyani mengatakan, langkah Amerika Serikat mengenakan tarif bea masuk barang impor kepada beberapa negara telah memicu kekhawatiran secara global. Padahal selama ini dunia bersepakat kalau ada persengketaan akan dilakukan pembahasan dalam konteks multilateral.

"Suasana yang terjadi akibat retorika dan langkah AS untuk memberikan tarif kepada beberapa negara dan beberapa komoditas telah mengubah harga komoditas yang terjadi. Itu berarti terjadi dalam langkah yang bersifat unilateral, dilakukan satu negara terhadap negara lain," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (26/7/2018).

"Padahal selama ini dunia bersepakat kalau ada persengketaan akan dilakukan pembahasan dalam konteks multilateral. Sehingga yang disebut adil dan tidak fair itu dilihat dari definisi definisi yang disepakati bersama bukan hanya satu negara," sambungnya.

Langkah AS ini membuat negara-negara seluruh dunia menimbang panjang terlebih dahulu dan hati-hati sebelum mengambil langkah untuk menggerakkan roda ekonomi. Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump bergerak terus menjalankan kebijakan perekonomiannya.

"Trump bergerak terus, hari ini mengumumkan terhadap Eropa mereka akan cooling down. Di saat bersamaan retorikanya tidak berbeda dengan yang disampaikan di G20, mereka ingin tarif subsidi dan berbagai hambatan nontarif dihiangkan. Eropa di sisi lain, menteri keuangannya dari Prancis mengatakan  tidak akan bernegosiasi kalau ada pistol di kepala," terangnya.

"Ini adalah retorika yang menunjukkan bahwa tidak ada keinginan adanya mekanisme apabila ada perbedaan harusnya membicarakannya seperti apa, bagaimana, dan di mana, itu saja tidak ada. Maka yang terjadi adalah kunjungan bilateral. sekarang EU datang PM Jepang datang. Semua akan sibuk traveling untuk diskusi seperti ini," tambah Sri Mulyani.

 

Tantangan sekaligus peluang

Secara global hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang. Tantangannya adalah dinamika ini akan menimbulkan implikasi dalam jangka menengah kalau semua negara melakukan dalam bentuk inward looking (kepentingan sendiri) yang berdampak pada target pertumbuhan ekonomi dunia 3,9 persen.

"Akan mengalami risiko pada semester kedua dan kalau growth dunia menurun. Padahal kita berharap ini bisa jadi salah satu mesin dari pertumbuhan ekonomi tidak hanya dunia tapi negara bisa mengandalkan investasi dan ekspor. Nah sekarang kita waspada ekspor akan terhalangi dari outlook global ekonomi yang melemah, itu satu yang harus kita waspadai, karena negara-negara tujuan ekspor menjadi memunculkan barikade lebih tinggi entah dari tarif maupun non tarif," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya