Indef: Nilai Tukar Rupiah Belum Dijaga Baik

INDEF kritik Pemerintah RI yang dinilai tidak kompak sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 31 Jul 2018, 12:15 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2018, 12:15 WIB
(Foto:Liputan6.com/Maulandy R)
Seminar nasional: Ekonomi Pasca Pilkada (Foto:Liputan6.com/Maulandy R)

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kritik Pemerintah RI yang dinilai tidak kompak sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini terombang-ambing.

Ekonom Senior INDEF, Didik J Rachbini mengatakan, Pemerintah Indonesia di era Soeharto sebenarnya memiliki sensitivitas yang sangat tinggi dalam menjaga nilai tukar rupiah dan inflasi sejak periode 1970-an.

"Mengapa? Karena pada 1965 kita dihantam oleh krisis inflasi yang maha dahsyat. Oleh karena itu, pemerintah orde baru sangat sensitif terhadap inflasi. Akan jadi isu besar kalau harga telur naik pada saat itu," papar dia dalam acara Kajian Tengah Tahun 2018 yang diselenggarakan INDEF di Gedung Smesco, Jakarta, Selasa (31/7/2018).

"Waktu itu, bahkan pengontrolan inflasi ada di samping kanan Presiden Soeharto. Sekarang siapa yang menjaga inflasi? Tidak ada. Masing-masing bicara sendiri. Hanya BI (Bank Indonesia) yang kerja," dia menambahkan.

Didik pun menyebutkan, pemerintah saat ini tidak sensitif terhadap nilai tukar rupiah. Dia menuturkan, tim ekonomi negara gagal mengelola berbagai faktor nilai tukar tersebut.

"Tim ekonomi kita itu tidak solid. Antara satu menteri dan menteri lainnya berkelahi. Ada masalah leadership kepemimpinan ekonomi yang berat pada saat ini," keluhnya.

Lagi-lagi, ia kembali membandingkan kondisi perekonomian negara kini dengan zamannya Soeharto. Dia menyatakan, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto hanya memegang cadangan devisa sebesar USD 30-35 miliar, tapi bisa mengendalikannya sebelum dilanda krisis moneter 1998.

"Ada devaluasi yang tertib dari 600 ke 700, 1.100 ke 1.400 dan seterusnya," ujar dia.

Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ia menambahkan, nilai tukar semakin berat sebab sektor luar negeri tidak selalu dijaga. Dia mengatakan, pemerintah tak mampu mengontrol banyak faktor yang menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan.

"Nilai tukar ini yang sebenarnya jadi permasalahan. Kalau nilai tukar Rp 14.500, maka otomatis kita sulit mengimpor. Akan terjadi stabilitas dengan sendirinya," ungkap dia.

"Sehingga dengan demikian, nilai rupiah kita tidak terjaga dengan sebaiknya. Dibiarkan saja, tidak terkontrol, dan faktor-faktornya tidak dikembangkan dengan baik," dia menyimpulkan.

 


Rupiah Stabil di Kisaran 14.415 per Dolar AS

Rupiah Tembus 13.820 per Dolar AS
Teller menghitung mata uang dolar di penukaran uang di Jakarta, Jumat (20/4). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak stabil dengan potensi menguat pada perdagangan Selasa pekan ini.

Mengutip Bloomberg, Selasa 31 Juli 2018, rupiah dibuka di angka 14.415 per dolar AS, tak berbeda dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.415 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.409 per dolar AS hingga 14.424 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 6,34 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.413 per dolar AS, tak berbeda jauh juga jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.409 per dolar AS.

"Nilai tukar rupiah bergerak menguat terhadap dolar AS menjelang lelang Surat Utang Negara (SUN) yang diperkirakan akan lebih baik dibandingkan lelang sukuk pekan lalu," kata Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail dikutip dari Antara.

Ia memproyeksikan mata uang rupiah kemungkinan bergerak di kisaran level 14.390 per dolar AS hingga 14.410 per dolar AS pada hari ini dengan kecenderungan menguat.

Ahmad menambahkan apresiasi rupiah itu juga dipicu posisi dolar AS yang cenderung melemah terhadap sejumlah mata uang dunia seperti euro menyusul hasil rapat Bank Sentral Eropa (ECB) yang memberikan sinyal akan mengurangi stimulus moneternya secara bertahap.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada menambahkan sentimen dari dalam negeri mengenai data ekonomi, yakni inflasi Juli 2018 yang diproyeksikan stabil menambah faktor positif bagi pergerakan rupiah.

"Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi, situasi itu akan menjaga pergerakan nilai tukar rupiah," katanya.

Ia memproyeksikan nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran 14.396-14.411 per dolar AS pada Selasa ini dengan kecenderungan menguat.

Meski demikian, tetap cermati dan waspadai berbagai sentimen yang dapat membuat rupiah kembali melemah.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya