Rupiah Lesu, Mantan Bos BEI Usul Yakinkan Pelaku Pasar soal Ekonomi RI

Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS membuat mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio angkat bicara.

oleh Agustina Melani diperbarui 06 Sep 2018, 15:00 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2018, 15:00 WIB
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Tito Sulistio saat Konferensi Pers Kinerja IHSG di Hardrock Cafe, Jakarta, Senin (14/11/2016).
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Tito Sulistio saat Konferensi Pers Kinerja IHSG di Hardrock Cafe, Jakarta, Senin (14/11/2016).

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio angkat bicara.

Bila melihat data kurs tengah Bank Indonesia (BI), kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) merosot 9,96 persen dari posisi 13.542 pada 2 Januari 2018 menjadi 14.891 pada 6 September 2018.

Mantan Dirut BEI, Tito Sulistio menuturkan, ekonomi Indonesia baik, dan politik relatif stabil. Namun, ia mempertanyakan kenapa menyalahkan ekonomi global terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

"Pasar bereaksi tidak hanya secara fundamental, bahkan kadang bergerak liar karena persepsi. Mari tanyakan kepada para pengambil keputusan fiskal dan moneter. Kapan terakhir kali mereka keliling menemui pelaku pasar, fund manager, pengelola dana di pasar, analis, S&P, MSCI, dan tokoh pelaju keuangan dunia. Menemui dalam arti kata datang ke kantornya secara humble tapi dengan charming meng-convince mereka tentang Indonesia,” tulis dia, seperti dikutip Kamis (6/9/2018).

Menurut Tito, Indonesia memerlukan seorang tokoh moneter yang secara meyakinkan dengan rendah hati dapat berbicara terbuka k pasar. Hal ini untuk meyakinkan rupiah tidak selemah yang dipikirkan.

"Indonesia perlu mempunyai seorang tokoh fiskal yang secara charming bisa meyakinkan pasar bahwa APBN kita akan mampu dengan ringan dan sehat melewati masa krisis 2-3 tahun ke depan,” tulis dia.

Ia menegaskan, kalau perlu perbaiki persepsi tentang Indonesia yang lebih baik. "Yakinkan mereka kalau rupiah is not as weak as you thought, convince pelaku pasar bahwa APBN will be able to pass the crisis. Bahwa Indonesia mampu memanage APBN 2-3 tahun ke depan,” kata dia.

Menurut Tito, Indonesia juga perlu satu teori ekonomi yang baru yaitu memaksimalkan competitive advantage. Akan tetapi, saat ditanyakan mengenai contoh competitive advantage tersebut, Tito belum dapat jelaskan lebih detil.

 

Rupiah Menguat, Tinggalkan Level 14.900 per Dolar AS

Nilai tukar Rupiah
Nasabah mengantre menukarkan mata uang USD di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Rabu (5/9). Sebelumnya pada Selasa (4/9), Rupiah sempat mencapai level Rp 14.935 per dollar Amerika atau terlemah sejak 1998. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat kembali pada perdagangan Kamis pekan ini setelah dari awal pekan terus tertekan. Penguatan rupiah ini menyusul pertanyaan dari salah satu pejabat Bank Sentral AS  atau the Federal Reserve (the Fed).

Mengutip Bloomberg, Kamis 6 September 2018, rupiah dibuka di angka 14.875 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.938 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah masih berada di kisaran 14.875 hingga 14.890 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 9,85 persen.

Adapun berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok 14.891 per dolar AS, menguat jika dibanding dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.927 per dolar AS.

Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail mengatakan, mata uang dolar AS bergerak melemah terhadap beberapa mata uang dunia seperti euro dan pound sterling menyusul pernyataan Presiden The Fed St Louis James Bullard bahwa The Fed harus menghentikan kenaikan tingkat suku bunga.

"Risiko perang dagang dan data ekonomi yang belum cukup kuat menjadi salah satu alasan bagi pejabat The Fed itu untuk menghentikan kenaikan suku bunga," paparnya seperti dikutip dari Antara. 

Di tengah situasi itu, mata uang rupiah diuntungkan. Namun, masih adanya risiko yang tinggi bagi mata uang negara-negara berkembang akibat krisis keuangan yang terjadi Argentina, Turki, dan Afrika Selatan dapat menahan apresiasi rupiah.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya