BPK: Program Peningkatan Produksi Cabai dan Bawang Belum Efektif

BPK juga menemukan, manajemen pola tanam untuk mewujudkan kestabilan produksi cabai dan bawang belum optimal.

oleh Merdeka.com diperbarui 02 Okt 2018, 19:13 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2018, 19:13 WIB
Harga Bawang dan Cabai.
Pedagang cabai melayani pembeli di pasar di Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan hasil pemeriksaan terhadap laporan keuangan Kementerian Pertanian (Kementan) 2017. Dalam laporan tersebut, BPK menyebut program peningkatan produksi dan nilai tambah hortikultura untuk mendukung stabilitas harga dan penurunan impor 2014 hingga semester-I 2017 belum efektif.

"Program peningkatan produksi dan nilai tambah hortikultura khusus komoditas cabai, bawang, dan buah-buahan untuk mendukung stabilitas harga dan penurunan impor produk hortikultura tahun 2014-semester I 2017 belum sepenuhnya efektif," ujar Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara dalam laporannya, Jakarta, Selasa (2/10/2018).

Kesimpulan tersebut didasarkan atas hasil pemeriksaan antara lain pada perencanaan produksi cabai dan bawang pada Direktorat Jenderal Hortikultura yang belum memadai. Penetapan angka target produksi dinilai belum didukung dengan data dan informasi yang valid serta dapat dipertanggungjawabkan.

"Akibatnya, target perencanaan secara nasional berpotensi tidak dapat tercapai, pelaksanaan kegiatan berpotensi tidak terarah untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai serta permasalahan nasional terkait dengan komoditas cabai, bawang, dan buah berpotensi tidak dapat diselesaikan dengan kegiatan kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Hortikultura," papar dia.

BPK juga menemukan, manajemen pola tanam untuk mewujudkan kestabilan produksi cabai dan bawang belum optimal.

Produksi aneka cabai dan bawang merah dari tahun 2014 sampai 2016 sebagian besar telah mencapai target produksi yang ditetapkan dalam Renstra Direktorat Jenderal Hortikultura dan revisinya serta prognosa kebutuhan nasional tetapi belum stabil sepanjang tahun.

"Kebijakan manajemen pola tanam yang disusun oleh Direktorat Jenderal Hortikultura untuk menjaga kestabilan produksi belum berhasil dan belum dapat diterapkan di daerah. Akibatnya, terdapat potensi ketidakstabilan harga karena ketidakstabilan produksi," jelasnya.

Terakhir, BPK juga menemukan kegiatan pengembangan buah lokal yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Hortikultura belum dapat menggantikan kebutuhan buah impor.

Impor buah ke Indonesia cukup besar di antaranya terdapat impor buah jeruk pada waktu yang tidak diperbolehkan yaitu pada masa panen buah lokal.

"Akibatnya, pencapaian program pemerintah tidak dapat terukur dan berkelanjutan dalam rangka penganekaragaman buah-buahan," dia menandaskan.

 

Reporter: Anggun P Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Harga Pangan Turun, Deflasi Bakal Kembali Terjadi pada September

20151103-Ilustrasi Deflasi-iStockphoto
Ilustrasi Deflasi (iStockphoto)

Ekonom perkirakan Indonesia alami deflasi pada September 2018. Hal itu dipicu dari harga pangan turun.

Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan, September 2018 akan terjadi deflasi sekitar 0,05 persen month to month (MtM) dengan inflasi tahunan sebesar 3,02 persen year on year (YoY). Perkiraan deflasi itu lebih rendah dari September 2017 sebesar 0,07 persen. Pada Agustus 2018 juga terjadi deflasi 0,05 persen.

"Tren deflasi dalam dua bulan terakhir ini dipengaruhi oleh tren deflasi kelompok volatile food di mana sebagian besar harga komoditas pangan cenderung turun terutama daging ayam dan cabai merah kecuali harga beras yang cenderung meningkat tipis," ujar Josua lewat pesan singkat yang diterima Liputan6.com, Senin (1/10/2018).

Sementara itu, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual menuturkan, September bisa terjadi deflasi 0,1 persen. Sedangkan kalau terjadi inflasi bisa mencapai 0,1 persen. Hal ini didorong dari harga pangan relatif stabil. “Pola musiman September-Oktober tahun lalu deflasi. Ini pengaruh harga makanan relatif terkendali. Produsen belum menaikkan harga,” kata David saat dihubungi Liputan6.com.

Untuk inflasi inti, Josua memperkirakan di kisaran 2,74 persen YoY. Ini mengingat dampak pelemahan nilai tukar rupiah belum terlihat yang mengindikasikan produsen menekan margin dan upayakan efisiensi biaya produksi  ketimbang menyesuaikan harga-harga.

"Secara keseluruhan, inflasi pada akhir tahun diperkirakan mencapai kisaran 3 persen-3,5 persen YoY. Tren kenaikan inflasi berpotensi terjadi pada akhir tahun bertepatan dengan Natal dan Tahun Baru yang mendorong peningkatan permintaan komoditas pangan," kata dia.

Sedangkan David menilai, kemungkinan produsen menaikkan harga pada Oktober 2018 di kisaran 3-10 persen. Kenaikan harga itu untuk merespons nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. David menuturkan, hal itu dapat  makanan jadi dan minuman akan alami kenaikan harga.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya