Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah belum mampu menguat pada perdagangan Kamis pekan ini. Nilai tukar rupiah masih berada di posisi 15.100 per dolar Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Bloomberg, Kamis sore (4/10/2018), nilai tukar rupiah berada di posisi 15.179 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan, rupiah melemah ke posisi 15.120 per dolar AS dari penutupan perdagangan kemarin 15.075 per dolar AS.
Sepanjang Kamis pekan ini, rupiah bergerak di posisi 15.120-15.191 per dolar AS. Nilai tukar rupiah melemah 11,98 persen terhadap dolar AS sepanjang 2018.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan rupiah berada di posisi 15.133 per dolar AS atau melemah 45 poin pada 4 Oktober 2018 dari periode perdagangan 3 Oktober 2018 di posisi 15.088 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan dolar AS kembali menguat terhadap seluruh mata uang dunia. Ini didorong penguatan indeks dolar AS usai rilis data ekonomi AS yang positif antara lain penyerapan tenaga kerja di sektor swasta yang meningkat menjadi 230 ribu pada September dibandingkan bulan sebelumnya.
Data positif itu memperkuat assesmen bank sentral AS kalau kondisi pasar tenaga kerja terus membaik ditandai dengan rendahnya pengangguran AS dan pengeluaran rumah tangga AS meningkat serta investasi.
Ditambah kekhawatiran kenaikan harga minyak dunia akan dorong penguatan dolar AS serta keluarnya dana asing dari pasar negara berkembang. Josua menuturkan, bank sentral di negara berkembang akan perketat kebijakan moneternya.
"Jika nilai tukar rupiah masih cenderung melemah, BI diperkirakan berpotensi menaikkan kembali suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada kuartal IV 2018 dan 75 basis poin pada 2019 sehingga dapat tekan defisit transaksi berjalan," kata Josua saat dihubungi Liputan6.com.
Dalam jangka pendek, Josua perkirakan nilai tukar rupiah di posisi 15.000-15.250 per dolar AS.
Mengutip laman Antara, kurs dolar AS makin perkasa. Bahkan mencapai tingkat tertinggi dalam 11 bulan terhadap yen dan mata uang utama lainnya pada perdagangan Kamis pagi.
Dolar AS menguat dipicu data positif terbaru AS dan komentar Ketua the Federal Reserve Jerome Powell yang dianggap sebagai hawkish.
Dolar AS reli dalam perdagangan overnight menyentuh 114,55 yen, tingkat tertinggi sejak awal November 2017. Kenaikan di atas 114,735 yen akan membawa mata uang dolar AS ke level tertinggi sejak pertengahan Maret 2018.
Sentimen positif untuk dolar AS, Ketua The Federal Reserve Jerome Powell menuturkan, bank sentral dapat menaikkan suku bunga di atas perkiraan pengaturan netral karena ekonomi AS yang sangat positif terus tumbuh.
Selain itu juga didorong dari berita indeks aktivitas non-manufaktur Institute for Supply Management (ISM) untuk AS melonjak 3,1 poin menjadi 61,6 bulan lalu, angka tertinggi sejak Agustus 1997.
Laporan ketenagakerjaan Nasional ADP juga menunjukkan pembayaran upah pegawai swasta melonjak sebanyak 230 ribu pekerjaan pada September, kenaikan terbesar sejak Februari.
"Dolar AS menguat bersamaan dengan kenaikan imbal hasil surat utang jangka panjang menjelang lapangan pekerjaan non-pertanian pada Jumat 5 Oktober 2018 mungkin capai 115,00 yen,” ujar Masafumi Yamamot, Kepala Strategi Valas di Mizuho Securities, seperti dikutip Reuters.
Sri Mulyani: Rupiah Tembus Rp 15 Ribu karena Faktor Eksternal
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah hingga menembus Rp 15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS) akibat kondisi eksternal. Pelemahan ini tidak berkaitan dengan kondisi internal terlebih bencana alam, seperti gempa yang terjadi belakangan ini.
"Tidak (karena bencana alam). Saya lihat dominasi hari ini mayoritas berasal dari luar yang sangat dominan pada saat yang lalu," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 4 Oktober 2018.
Dia mengungkapkan, salah satu faktor yang menyebabkan dolar semakin menguat yaitu munculnya sentimen akibat defisit anggaran yang tengah dihadapi Italia. Sementara dari sisi internal, defisit neraca pembayaran.
"Kita lihat sentimen kemarin adalah Italia yang defisitnya besar. Sekarang Italia komitmen menurunkan defisit APBN, lalu ada sentimen yang lain. Mayoritas ini masalah eksternal. Dan domestik harus waspada utamanya neraca pembayaran. Ini momentumnya masih harus dikendalikan dengan baik," kata dia.
Namun demikian, Sri Mulyani memastikan jika pemerintah dan Bank Indonesia (BI) terus berupaya untuk mengendalikan nilai tukar rupiah di level yang wajar. Dari sisi moneter, BI telah mengeluarkan bauran kebijakan terkait suku bunga.
"BI sebagai otoritas moneter sudah melakukan langkah-langkah bauran kebijakan, bauran dari BI apakah berhubungan dengan suku bunga, apakah dengan makroprudensial dan policy mereka mengenai intervensi untuk menciptakan suatu perubahan yang bisa di-absorb dan di-adjust oleh perekonomian," ungkap dia.
Sementara dari sisi fiskal, pemerintah telah mengeluarkan beragam kebijakan pengendalian impor untuk komoditas tertentu.
"Kami dari sisi fiskal terus akan melaksanakan apa yang sudah diputuskan waktu itu. Memonitor impor utamanya impor barang konsumsi dan diproduksi dalam negeri, 1.147 (komoditas) itu nanti akan kami lihat laporannya setiap minggu dan posisi terakhir sudah menunjukkan penurunan namun kita akan lihat Oktober minggu pertama ini," jelas dia.
Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan pencampuran CPO ke dalam solar sebanyak 20 persen yang diharapkan bisa menekan impor dan menghemat devisa.
"Untuk BBM, yang merupakan komponen impor terbesar, kami harap B20 bisa mengurangi. Tapi kita akan lihat karena akhir september terjadi kenaikan dan kami akan lihat. Dengan adanya bencana seperti ini akan ada kebutuhan, dan kami akan melihat apa yang sifatnya temporer dan sifatnya tren atau kecenderungan. Menko Perekonomian dan menteri terkait terus melakukan," tandas dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement