Rupiah Tembus 15.000 per Dolar AS, Pengusaha Pilih Tahan Kenaikan Harga Produk

Pelemahan rupiah membuat sejumlah pengusaha harus memutar strategi bisnisnya, terutama yang masih menggunakan bahan baku impor.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 04 Okt 2018, 13:45 WIB
Diterbitkan 04 Okt 2018, 13:45 WIB
Lip 6 default image
Gambar ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar Rupiah terus melemah. Bahkan saat ini kurs tengah Bank Indonesia (JISDOR) berada di 15.133 per dolar Amerika Serikat (AS), sementara kemarin di 15.088 per dolar AS.

Pelemahan rupiah membuat sejumlah pengusaha harus memutar strategi bisnisnya, terutama yang masih menggunakan bahan baku impor.

Adhi S Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengaku jika mayoritas pengusaha besar masih bisa menahan pelemahan nilai tukar rupiah saat ini.

"Terus terang saya nanya perusahaan menengah besar rata-rata mereka belum menaikkan harga dengan harapan supaya penjualan tidak turun, kalau turun lebih berat lagi. Mereka biasanya punya strategi jangka panjang," kata dia di Jakarta, Kamis (4/10/2018).

Dia mengakui sebagai konsekuensi menahan harga ini, margin keuntungan yang diterima para pengusaha menyusut. Untuk itu, mereka masih berharap penguatan rupiah bisa kembali terjadi dan stabil.

Selain itu, pengusaha saat ini dihadapkan dengan tingkat konsumsi yang biasanya meningkat di akhir tahun. Sehingga resiko kenaikan harga hanya akan menjadi bumerang bagi pengusaha.

Adhi mengaku, yang saat ini sudah terkena dampak adalah para pengusaha menengah ke bawah seperti UMKM. Harga sejumlah produk UMKM mayoritas sudah naik. Hal ini dikarenakan mayoritas tak memiliki strategi jangka panjang.

"Terutama bahan baku terigu. Terigu itu sudah naik 10 persen. Bayangkan mereka bikin kue yang terigunya 70 persen, pasti naik. Apalagi mereka tidak punya strategi jangka panjang, hanya mereka beli segini dan harus jual untung," pungkasnya.

 

 

Rupiah Hari Ini

Rupiah-Melemah-
Petugas Bank tengah menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) makin melemah. Bahkan, nilai tukar rupiah sentuh posisi 15.100 per dolar AS.

Mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah melemah ke posisi 15.120 atau melemah 45 poin pada pembukaan perdagangan Kamis pekan ini. Pada perdagangan kemarin, rupiah ditutup di posisi 15.075 per dolar AS.

Sepanjang Kamis pekan ini, rupiah bergerak di kisaran 15.120-15.187 per dolar AS. Sepanjang tahun berjalan 2018, rupiah sudah melemah 12,04 persen.

Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan rupiah berada di posisi 15.133 per dolar AS, atau melemah 45 poin pada 4 Oktober 2018 dari periode perdagangan 3 Oktober 2018 di posisi 15.088 per dolar AS.

Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, menuturkan nilai tukar rupiah merosot cenderung didorong sentimen eksternal, terutama kekhawatiran perang dagang. David bilang JP Morgan menyebutkan perang dagang akan berlangsung lama, sehingga memicu kekhawatiran pasar. Selain itu, pasokan valuta asing juga belum berimbang dengan permintaan.

"Di pasar modal masih terjadi outflow. Permintaan valas untuk minyak tinggi, tetapi pasokan terbatas. Permintaan valas belum berimbang karena pasokan," ujar David saat dihubungi Liputan6.com.

Meski demikian, menurut David, pelemahan rupiah masih bertahap, sehingga masih bisa diantisipasi pelaku usaha sektor riil. Apalagi tren rupiah melemah terjadi sejak 2012. “Pelemahan rupiah pelan-pelan. Tidak seperti Turki. Pelaku usaha juga tidak ingin penguatan dan pelemahan mata uang terlalu cepat,” ujar David.

David menuturkan, rupiah masih tertekan hingga akhir tahun. Nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran 14.800-15.000 hingga akhir 2018.

Oleh karena itu, David mengharapkan Bank Indonesia dan pemerintah dapat merespons dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan. BI diperkirakan masih menaikkan suku bunga acuan sekitar 25 basis poin-75 poin hingga akhir 2018. Hal itu dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan dan menstabilkan nilai tukar rupiah.

"Defisit transaksi berjalan harus turun karena tantangan tahun depan lebih berat. Kuartal III, defisit transaksi berjalan akan di bawah tiga persen," kata David.

Ia menuturkan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi, antara lain perang dagang berlangsung lama, kenaikan suku bunga acuan the Federal Reserve, dan harga minyak dunia.

Sedangkan pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif agar pengusaha dapat mengendapkan devisa hasil ekspor di Indonesia.

"Dorong ekspor susah. Namun, dana ekspor diharapkan masuk dengan buat insentif menarik agar pengusaha konversikan ke rupiah," ujar David.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya