Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan di awal pekan ini.
Mengutip Bloomberg, Senin (25/3/2019), rupiah dibuka di angka 14.205 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.162 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.190 per dolar AS hingga 14.225 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah masih menguat 1,25 persen.
Advertisement
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.223 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan pada Jumat lalu yang ada di dangka 14.157 per dolar AS.
Baca Juga
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, pasar global dilanda kekhawatiran terhadap potensi resesi di AS yang semakin besar ketika imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury) 10 tahun menunjukkan kurva terbalik atau inverted pada perdagangan Jumat lalu untuk pertama kalinya sejak 2007.
"Jika inverted berlanjut, potensi resesi meningkat, mestinya akan direspons The Fed dengan menurunkan suku bunga acuannya," ujar Lana.
Imbal hasil US Treasury 10 tahun turun 0,08 persen menjadi 2,455 persen, sedangkan untuk yang jangka pendek tiga bulan tercatat 2,46 persen.
Inverted yield curve terjadi ketika imbal hasil obligasi jangka panjang lebih rendah dibandingkan imbal hasil obligasi yang pendek, sebagai indikasi risiko jangka pendek yang meningkat.
Lana memperkirakan, rupiah pada hari ini akan bergerak melemah menuju kisaran antara 14.170 per dolar AS sampai Rp14.180 per dolar AS dibanding penutupan akhir pekan lalu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BI Perkirakan Nilai Tukar Rupiah Lebih 'Jinak' di 2019
Sebelumnya, Bank Indonesia memperkirakan volatilitas nilai tukar rupiahterhadap dolar AS pada 2019 tak setinggi 2018. Ini lebih dikarenakan sentimen utama, yaitu The Fed mulai melunak.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah menjelaskan, pasalnya, pada Rabu (20/3) malam waktu setempat, The Fed mempertahankan suku bunga acuan pada 2,25 - 2,5 persen atau median 2,375 persen.
Penetapan suku bunga itu menguatkan ekspetasi pelaku pasar untuk kebijakan yang lebih melunak (dovish). The Fed juga mengubah sinyalemen untuk arah kebijakan suku bunga dalam jangka menengah, yang menyiratkan jumlah kenaikan suku bunga acuan yang lebih rendah dalam dua tahun ke depan.
BACA JUGA
"Seperti hasil FOMC di tanggal 21 Maret, memberi sinyal semakin jelas bahwa mereka tidak akan menaikkan suku bunga, setidaknya untuk tahun 2019 ini. Artinya, satu faktor global itu sudah jelas akan memberikan dukungan terhadap stabilitas rupiah," ujar Nanang di Yogyakarta, Minggu (24/3/2019).
Meski demikian, Nanang menegaskan, Bank Indonesia tidak akan mengendorkan antisipasinya terhadap berbagai potensi gejolak ekonomi global yang mempengaruhi pergerakan rupiah.
Bank Indonesia, saat ini masih mewaspadai dinamika ekonomi global yang bisa memberikan efek rambatan terhadap negara berkembang seperti dari perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara maju, yakni Amerika Serikat, China, Jerman, dan Prancis.
"Memang ada faktor lain yang muncul yaitu situasi ekonomi global yang belakangan semakin melemah atau merosot. Tapi berdasarkan beberapa referensi itu akan bangkit di akhir tahun 2019," ujarnya.
Advertisement