Liputan6.com, Jakarta Pemerintah sejak 1 Mei 2019 lalu telah menetapkan tarif baru ojek online yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 347 Tahun 2019. Dalam kebijakan tersebut, pemberlakuan tarif batas bawah dan tarif batas atas dibagi ke dalam tiga zona berbeda.
Menindaki keputusan ini, salah satu aplikator ojek online yakni Grab Indonesia coba menyiasati, dengan kerap memberikan promo tarif besar-besaran bagi konsumen.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat transportasi dan Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Dharmaningtyas mengatakan, langkah Grab Indonesia masih terbilang wajar. Asalkan, bentuk promo yang diberikan tidak sampai melanggar aturan.
Advertisement
"Boleh promo gila-gilaan, tapi tidak boleh melanggar peraturan. Artinya, tarif batas bawah enggak boleh dilanggar," ujar dia di Jakarta, Selasa (7/5/2019).
"Misalkan mau menambah bonus, boleh, tetapi tidak boleh melanggar batas bawah juga batas atas. Kalau batas bawah untuk melindungi pengemudi, batas atas itu untuk melindungi konsumen," dia menambahkan.
Menurutnya, pemerintah memang sengaja menetapkan tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk ojek online demi tercipta keadilan bagi pihak pengemudi maupun konsumen.
"Kalau sampai melanggar batas atas, berarti konsumen harus membayar lebih mahal. Kenapa tidak boleh melanggar batas bawah? Karena berarti pengemudi akan menerima pembayaran yang lebih rendah," jelas dia.
Lebih lanjut, ia pun menilai jika ojek online merupakan alat transportasi komplementer yang menjadi penunjang sarana transportasi publik yang telah disediakan pemerintah, seperti Trans Jakarta hingga KRL.
"Ojek online itu pilihan, bukan utama. Kalau pilihan, dia ada atau tidak itu sebetulnya enggak masalah. Jadi yang paling penting adalah ketersediaan sarana transportasi yang utama tadi," pungkas dia.
KPPU: Batas Bawah pada Tarif Baru Ojek Online Tak Harus Ada
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih turut memberikan beberapa saran terkait penetapan tarif baru ojek online yang mulai diberlakukan pada 1 Mei 2019.
Dia menilai, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) seharusnya tidak perlu memberlakukan tarif batas bawah bagi konsumen. Perlindungan terhadap pihak mitra pengemudi justru lebih penting.
Baca Juga
"KPPU justru tidak melihat harus ada (tarif) batas bawah kepada konsumen. Tapi perlindungan terhadap driver sesuai dengan undang-undang UMKM itu harus terjadi. Antara ojolnya (aplikator) dengan para driver," ujar dia di Gedung KPPU, Jakarta, Senin (6/5/2019).
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 347 Tahun 2019, pemerintah telah menentukan pemberlakuan tarif batas bawah yang terbagi ke dalam tiga zona.
Namun begitu, pada Sabtu 4 Mei lalu, Gojek sempat mengubah data tarif per km untuk wilayah Jabodetabek yang masuk dalam Zona II, yakni dari Rp 2.500 menjadi Rp 1.900. Kontan saja, perubahan mendadak itu menuai reaksi mitra pengemudi Gojek yang sempat mengancam mogok nasional pada Senin ini.
Lebih lanjut, Guntur berpendapat, adanya persaingan tarif antara dua aplikator ojek online terbesar yakni Gojek dan Grab merupakan hal yang baik.
"Bagus dong kalau ada persaingan. Ya kalau mereka bersaing untuk naikin harga ke konsumen, itu kan wilayah persaingan," pungkas dia.
Advertisement
Banyak Keluhan, Kemenhub Bakal Evaluasi Tarif Baru Ojek Online
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengaku telah menerima berbagai tekanan dari berbagai pihak mengenai soal pemberlakuan tarif ojek online (ojol).
Sesuai Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019, sejak 1 Mei 2019 pemberlakuan tarif ojek online resmi diberlakukan.
Direktur Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan, Ahmad Yani mengatakan, dari hasil kajian bersama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memang banyak pihak merasa keberatan dengan pemberlakuan tarif tersebut. Padahal, kebijakan tersebut dibuat agar kesejahteraan pihak driver meningkat.
"Sementara memang diinformasikan tarifnya terlalu mahal yang sudah kita tetapkan. Kemudian, di sisi lain, setelah terjadi ribut-ribut banyak, berdampak juga kepada temen-temen driver. Dari sisi driver sudah ada kenaikan pas tanggal 1, walaupun tuntutan mereka lebih baik. Artinya dengan harga seperti itu mereka menganggap layak," kata dia saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Senin (6/5/2019).
Baca Juga
Kemudian, tekanan lain pun datang dari masyarakat. Dari hasil evaluasi sejak ditetapkan tarif batas atas dan bawah para pengguna jasa ojol justru keberatan.
Dari laporan yang diterima pihaknya mereka keberatan dengan tarif tersebut, sebab lebih mahal daripada biasanya.
"Kedua, masalahnya timbul dari sisi penumpang. Dari sisi penumpang juga ada beberapa, dari medsos, dari saya juga dapat informasi, dari lembaga konsumen ada yang menyatakan tarifnya naiknya gila-gilaan," kata dia.
Sebagai tindak lanjut dari beberapa laporan yang masuk, Kementerian Perhubungan juga akan mengevaluasi. Salah satunya dengan mengamati di sejumlah lima titik kota besar seperti di Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Makasar.
Adapun tujuan dari pengamayan tersebut untuk mencari tahu bagaimana presepsi masyarakat sesungguhnya terhadap kenaikan tarif ini. Pihaknya juga akan menggandeng sejumlah lembaga independen untuk melakukan pengamatan.
"Artinya saya mengevaluasinya harus dengan data riil, walaupun itu sampel, kami akan melakukan sampai kurang lebih 10 hari. Akan melakukan pengamatan itu. Baik dari sisi driver, kemudian sisi masyarakat, dan yang terakhir dari kepatuhan terhadap aturan itu dari aplikator. Jadi ini sedang kita lakukan, tunggu hasilnya," tutur dia.
Dia menambahkan, jika hasil evaluasi selama 10 hari telah usai dilakukan dan didapatkan berbagai data di lapangan maka pihaknya akan kembali mendiskusikan bersama seluruh stakeholder atau pemangku kepentingan. "Jadi hipotesanya dua, apakah tetap (tarifnya) atau turun," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com