Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyoroti rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke wilayah lain.
Menurut dia, posisi Jakarta sebagai pusat bisnis tak akan melemah pasca melepas statusnya sebagai kota nomor satu RI.
Dalam hal ini, ia berkaca pada keputusan Pemerintah Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur menuju Putrajaya.
Advertisement
"Enggak juga. Pusat bisnis akan tetap di Jakarta. Belajar dari kasus Putrajaya di Malaysia, pusat bisnis tetap di ada di Kuala Lumpur," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Minggu (19/5/2019).
Lebih lanjut, Bhima juga turut memperhatikan berbagai dampak pemindahan ibu kota.
Baca Juga
Dia menilai anggaran pemerintah dari APBN cukup berat, lantaran total biaya yang disampaikan Bappenas sebesar Rp 466 triliun terhitung masih belum memasukan pembengkakan yang terjadi akibat spekulasi tanah.
"Biaya pembebasan lahan mahal karena ulah spekulan tanah. Tidak semua tanah akan disediakan oleh tanah negara, karena skala kebutuhan yang ckup besar, kontur tanah, dan lain sebagainya," tutur dia.
"Biaya lain juga bisa muncul. Konsekuensi dari mahalnya biaya itu akan menambah defisit APBN dan utang pemerintah. Jadi untuk saat ini tidak feasible secara ekonomi," serunya.
Di sisi lain, ia menyatakan perusahaan swasta dan BUMN mungkin tertarik mendanai pembangunan properti untuk rumah Aparatur Sipil Negara (ASN) di ibu kota baru. Namun, sambungnya, itu akan sulit untuk biaya bangun gedung pemerintahan lantaran sifatnya bukan komersil.Â
"Sejauh ini porsi investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur hanya 7 persen. BUMN pun harus hitung untung rugi dan jangka waktu pengembalian modalnya. Jika terlalu lama return-nya dan BUMN terpaksa utang akan sebabkan financial distress atau tekanan keuangan," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Pemerintah Perlu Perhatikan Hal Ini Sebelum Pindah Ibu Kota
Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia, Bernardus Djonoputro mengungkapkan, sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam pemindahan ibu kota.
Salah satunya perencanaan yang matang. Sebab ini, kali pertama Indonesia membangun kota dengan skala besar.
Dia menuturkan, dari sisi proses pemerintahan perlu merencanakan secara matang kota baru tersebut. Beberapa pertimbangan seperti kaitannya dengan kota lain, juga dampaknya terhadap pembangunan Indonesia ke depan harus diperhatikan.
"Masukan dari sisi proses. Karena kita akan bikin sebuah ikon yang jadi standar bagi kota yang lain. Kita enggak pernah bikin kota baru. Jadi kalau kita bikin ibu kota sekarang kita jadi pertama kali bikin kota baru, besar langsung ibu kota negara lagi. Dia akan jadi benchmark. Ruh perencanaan visioner diperlukan," ujar dia, di Jakarta, Jumat, 17 Mei 2019.
Hal berikut adalah kerja sama yang solid antarlembaga Pemerintah. Pembangunan kota baru, kata dia, merupakan proyek yang kompleks sehingga kerja sama lintas instansi sangat penting.
"Pelibatan kelembagaan. Beberapa kota baru ini di-manage kelembagaan solid untuk bisa memotong rentang birokrasi, pengambilan keputusan dan termasuk pengadaan lahan, dan pembiayaan,"Â tutur dia.
"Ini penting supaya bisa proses jangka panjang dan tidak terbatas oleh siklus politik 5 tahunan," ia menambahkan.
Hal-hal mutlak diperlukan. Sebab pembangunan ibu kota baru juga menjadi ajang bagi Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan dunia internasional.
"Ini yang susah kita bicara brand Indonesia. Kita jadi sorotan dunia, seperti apa kota baru besar, dari megapolitan dipecah, diambil fungsi pemerintahannya. Bagaimana how moving 1,5 million ini akan menjadi example," tandasnya.
Â
Advertisement
Kaltim dan Kalteng Jadi Kandidat Ibu Kota Baru, Ini Plus Minusnya
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengunjungi beberapa lokasi di Kalimantan untuk menindaklanjuti rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta. Lokasi yang dikunjungi yaitu Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan dari hasil kunjungannya, setidaknya sudah ada beberapa kesimpulan dari dua wilayah yang bakal menjadi lokasi ibu kota tersebut.
Untuk Kalimantan Tengah, Bambang memaparkan keunggulannya yaitu memiliki akses terhadap Bandara Tjilik Riwut (Hierarki Pengumpul Tersier), bebas bencana gempa bumi, 97,04 persen wilayah tergolong ke dalam area yang aman dari banjir.
"Selain itu, Kalteng juga tidak berbatasan langsung dengan batas negara, ketersediaan lahan yang luas dengan 70 persen status hutan produksi konversi (bebas konsesi) dan hutan produksi dengan konsesi Hutan Alam," kata Bambang di kantornya, Kamis, 16 Mei 2019.
Hanya saja, ada beberapa kelemahan yang disimpulkan Bambang. Pertama lokasi jauh dari pelabuhan laut sekitar ±6 jam, ketersediaan sumber daya air tanah terbatas, hanya tersedia air sungai.
Selain itu sebagian besar wilayah deliniasi memiliki lapisan gambut yang rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, truktur demografi relatif homogen dan secara historis pernah terjadi konflik sosial (peristiwa Sampit)
Untuk wilayah Kalimantan Timur, Bambang memaparkan beberapa kelebihannya menjadi kandidat ibu kota, yaitu dekat dengan dua bandara besar di Samarinda dan Balikpapan, dekat dengan akses Jalan Tol Balikpapan-Samarinda, dan dekat dengan Pelabuhan Semayang Balikpapan.
Selanjutnya, keunggulan lainnya adalah ketersediaan infrastruktur jaringan energi dan air bersih, struktur demografi heterogen, sebagian besar merupakan pendatang, lokasi delineasi dilewati oleh ALKI II di sekitar Selat Makassar, bebas hutan, bencana alam gempa bumi dan kebakaran.
"Kaltim juga tidak berbatasan langsung dengan batas negara, memiliki ketersediaan lahan dengan status APL, hutan produksi dengan konsesi HTI dan hutan produksi yang bebas konsesi," tambahnya.
Sementara untuk kelemahannya untuk menjadi ibu kota hanya ada dua poin, yaitu rawan banjir pada wilayah yang dekat dengan hulu DAS dan etersediaan sumber daya air tanah rendah.
"Kalau dilihat dari kelemahannya, lebih sedikit Kalimantan Timur," tegas Bambang.
Â
Â