Liputan6.com, Jakarta - PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) memperkuat bisnisnya dalam penjualan elpiji dan amonia. Pada tahun ini, ESSA menargetkan produksi amonia mencapai 700 ribu metrik ton.
Direktur Utama ESSA, Garibaldi Thohir mengatakan, pada tahun ini ESSA masih fokus untuk menjalankan bisnis penjualan elpiji dan amonia.
“Kita akan pastikan dulu segala sesuatunya berjalan dengan baik,” ujar dia di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Advertisement
Baca Juga
Mulai Juli tahun lalu, ESSA memproduksi dan menjual amonia melalui PT Panca Amara Utama mereka mengoperasikan pabrik amonia di Luwuk, Sulawesi Tengah. ESSA mengucurkan dana sebesar USD 800 juta untuk membangun pabrik tersebut.
Sekarang ini utilitasi pabrik amonia tersebut sudah 16 persen melebihi dari kapasitas produksi yaitu sebesar 700 ribu metrik ton. Sehingga mereka memasang target produksi lebih dari 700 ribu metrik ton amonia. ESSA telah menjual produk amonia ke Jepang dan Korea. Selain itu, ESSA juga mengincar Taiwan dan China sebagai pasar baru
Selain berkecimpung dalam bisnis penjualan amonia, mereka juga memiliki pabrik LPG berkapasitas 66.000 mt per tahun. Utilisasi pabrik elpini mereka juga sudah 18 persen melebih kapasitas terpasang. ESSA sudah memproduksi 18.000 mt sampai kuartal pertama tahun ini.
Pada tahun lalu Essa membidik volume produksi sebesar 76,384 ton LPG. Sementara pada tahun ini, produksi diproyeksikan tak jauh berbeda dibandingkan 2018 lalu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Industri Pengolahan Ikut Picu Defisit Neraca Dagang di April
Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan sebesar USD 2,5 miliar pada April 2019. Penurunan ekspor produk industri pengolahan disinyalir ikut menjadi pemicu defisit neraca perdagangan ini.
Pertumbuhan negatif industri pengolahan berdampak menurunkan nilai ekspor pada April hingga 13,10 persen secara year on year.
Deputi Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Yunita Rusanti mengemukakan, nilai ekspor industri pengolahan mengalami penurunan yang cukup dalam pada April. Secara year on year, nilainya turun hingga 11,82 persen.
Ini membuat pertumbuhan ekspor secara keseluruhan pun sulit terangkat dan tercatat negatif hingga 13,10 persen secara year on year. “Ada hubungannya langsung atau nggak, kita nggak meneliti sejauh itu. Tapi, kemungkinan bisa jadi,” ujar dia.
Ekspor industri pengolahan merupakan kontributor terbesar yang membentuk total nilai ekspor Indonesia. Porsinya pada April kemarin mencapai 74,77 persen dari total ekspor pada bulan yang sama. Nilainya berada di angka USD 9,42 miliar.
Perhiasan menjadi produk industri yang mengalami penurunan ekspor paling tajam periode yang sama. Nilai ekspor perhiasan turun hingga USD 339,2 juta pada bulan lalu.
Yunita juga menjelaskan, impor sebenarnya tidak bertumbuh signifikan. Bahkan jika membandingkan nilainya secara tahun, terjadi penurunan.
“Kalau yang impor kalau dibandingkan dengan tahun lalu, sampai dengan April ini lebih rendah dibandingkan tahun 2018. Nilai-nilainya lebih rendah. Saya bicara total impor,” papar dia.
Advertisement
Permintaan Lahan Industri Melonjak Usai Pemilu
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) optimis investasi di sektor industri terus menggeliat usai perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu). Hal ini lantaran kondisi ekonomi, politik dan keamanan di Indonesia masih kondusif sehingga akan meningkatkan rasa kepercayaan para investor dalam memacu usahanya.
“Salah satu indikasinya adalah permintaan lahan industri yang terus naik. Ini pun menandakan bahwa aktivitas manufaktur di dalam negeri masih tetap ekspansif,” kata Direktur Perwilayahan Industri Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, Ignatius Warsito di Jakarta, Senin (13/5/2019).
Berdasarkan data Himpunan Kawasan Industri (HKI), pada kuartal I 2019, permintaan lahan di kawasan Jabodetabek dan Karawang terus meningkat hingga 100 hektare (ha), dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya dengan penjualan lahan industri mencapai 11,27 ha.
Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, serapan lahan industri banyak terdapat di Serang, Bekasi, dan Karawang. Apabila dirinci, Modern Cikande mencatatkan transaksi paling besar dengan penjualan lebih dari 60 hektare. Setelahnya, disusul Greenland International Industrial Centre yang mendekati 20 hektare.
Menurut Warsito, adanya realisasi serapan lahan industri pada kuartal I/2019 diperkirakan terjadi kenaikan permintaan sampai akhir tahun 2019. Hal ini mengingat sebagai akumulasi kebutuhan investasi baru maupun pengembangan dari industri yang sudah ada dari tahun sebelumnya.
“Kami optimistis angka penjualan lahan industri bakal melebihi raihan tahun 2018 yang jumlahnya mencapai 180 hektare. Kami memproyeksikan, penjualan lahan industri sampai akhir tahun 2019 bisa menyentuh 200 hektare, dengan peningkatan yang terus terjadi hingga pertengahan tahun ini mengingat kondisi iklim investasi yang semakin kondusif,” paparnya.
Investasi dan Pemilu Dongkrak Pertumbuhan Industri Tekstil
Industri tekstil dan pakaian jadi menorehkan kinerja positif pada kuartal I 2019. Sepanjang tiga bulan tersebut, pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi tercatat paling tinggi mencapai 18,98 persen.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Muhdori mengatakan, angka tersebut naik signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu di angka 7,46 persen dan juga meningkat dari perolehan selama 2018 sebesar 8,73 persen.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menunjukkan, produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) pada kuartal I 2019 naik 4,45 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan produksi IBS tersebut, ditopang oleh produksi sektor industri pakaian jadi yang meroket hingga 29,19 persen karena melimpahnya order, terutama dari pasar ekspor.
“Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan salah satu sektor andalan karena memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional. Apalagi, industri TPT sebagai sektor yang tergolong padat karya dan berorientasi ekspor,” ujar dia di Jakarta, Minggu (12/5/2019).
Menurut Muhdori, pertumbuhan tinggi yang terjadi pada industri TPT, terutama disebabkan adanya investasi yang cukup besar di sektor hulu khususnya produsen rayon. Ini terlihat dari beroperasinya PT Asia Pacific Rayon (APR) di Riau pada akhir 2018, dengan investasi Rp 11 triliun. Pabrik ini menambah kapasitas produksi sebesar 240 ribu ton per tahun, yang setengahnya diorientasikan untuk keperluan pasar ekspor.
“Itu yang menyebabkan peningkatan dari sisi ekspor. Selain itu, supply dari hulu yang meningkat, juga mendorong kinerja ke industri hilir dan antara sehingga secara komulatif industrinya semakin bergairah. Ini ditandai dengan ekspor industri tekstil dan produk tekstil yang naik 1,1 persen pada triwulan I tahun ini,” papar dia.
Advertisement