Penyederhanaan Tarif Cukai Berpotensi Matikan Industri Rokok Skala Kecil

Kebijakan penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai bagi industri tembakau akan merugikan industri rokok skala kecil dan menengah. Kebijakan ini bahkan berpotensi membuat industri kecil gulung tikar.

oleh Septian Deny diperbarui 17 Mei 2019, 12:15 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2019, 12:15 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Kebijakan penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai bagi industri tembakau dinilai akan merugikan industri rokok skala kecil dan menengah. Kebijakan ini bahkan berpotensi membuat industri kecil gulung tikar.‎

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Wilayah Surabaya Sulami Bahar mengatakan, ‎kebijakan simplifikasi akan berdampak negatif terhadap perkembangan industri tembakau skala kecil dan menengah serta industri rokok secara nasional.

Menurut dia, ada sejumlah dampak negatif jika kebijakan simplifikasi tersebut diterapkan. Salah satunya akan mendorong peredaran rokok ilegal semakin marak dan sulit dikendalikan.

"Kemudian, hasil dari para petani kurang terserap secara maksimal nantinya, selama ini kan industri yang serap. Pada dasarnya kami kurang setuju jika kebijakan tersebut diterapkan saat ini," ujar dia di Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Selain itu jika simplifikasi diterapkan, lanjut dia, maka akan ada pengurangan sejumlah industri rokok skala kecil yang ada saat ini.

"Saat ini kan ada 10 layer, ini sangat ideal diberlakukan di Indonesia, mengingat beragamnya jenis industri rokok, ada yang skala kecil, menengah dan besar," kata dia.‎

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Minta Dipertimbangkan

Bungkus Rokok atau Kemasan Rokok
Ilustrasi Foto Kemasan Rokok (iStockphoto)

Oleh sebab itu, Sulami berharap pemerintah kembali mempertimbangkan untuk menerapkan kebijakan simplifikasi tarif cukai rokok. Ini mengingat dampaknya yang begitu besar bagi industri rokok dan penerimaan negara melalui cukai rokok.‎

"Kami juga sangat tidak setuju dengan adanya penggabungan Sigaret Putih Mesin (SPM) dengan Sigaret Kretek Mesin (SKM)‎ golongan kecil. Yang jadi korban dari simplifikasi tarif tersebut ya SKM golongan kecil. Batasan produksi kita kan selama ini di kisaran 0-3 miliar batang, SPM juga sama. Nah, kalau digabung dengan SPM bisa jadi hanya setengahnya saja 1,5 miliar produksinya. Kurang adil bagi kami," jelas dia.

Dia menjelaskan, selama ini kontribusi industri tembakau telah berkontribusi besar terhadap negara melalui penerimaan cukai. Pada‎ 2018, industri ini menyumbang sekitar Rp 153 Triliun.

"Dari angka tersebut hampir 65 persennya atau sekitar Rp 90 triliun disumbang dari industri-industri tembakau yang ada di Jawa Timur," ungkap dia.

Sementara, terkait dengan kenaikan cukai, Sulami mengaku tidak keberatan jika pemerintah ingin menaikkan cukai rokok di tahun depan. Namun kenaikkan cukai tersebut harus memenuhi rasa keadilan dari bagi industri kecil dan menengah.

"Kami tidak alergi dengan kenaikan tarif, jika diterapkan di tahun 2020 nanti. Tapi kenaikan itu harus dilihat secara proporsional dan intinya tidak memberatkan industri," tandas dia.

 

Kenaikan Cukai Dikhawatirkan Perburuk Industri Hasil Tembakau

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai pada pertengahan 2019 dinilai akan berdampak baik bagi industri hasil tembakau (IHT) terhindar dari keterpurukan.

Anggota Dewan Penasihat Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Andriono Bing Pratikno mengatakan, keputusan tak adanya kenaikan cukai tepat. Adapun pemerintah pada Oktober 2018 menetapkan untuk tidak menaikkan tarif cukai pada 2019.

"Ini efeknya ke daya beli masyarakat, konsumen akan cenderung beli rokok ilegal karena rokok legal mahal. Ini akan jadi pesaing rokok golongan II dan pabrikan kecil yang dirugikan," ujar dia seperti dikutip dari Antara, Rabu (8/5/2019).

Wacana kenaikan tarif cukai pada pertengahan tahun ini telah mengemuka sejak April. Terdapat dua hal yang menjadi pertimbangan pemerintah. Pertama, dampak dari banyaknya kegiatan penertiban rokok ilegal. Kedua, kontribusi terhadap total penerimaan cukai.

Namun, wacana tersebut langsung diklarifikasi Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang menyebutkan bahwa untuk cukai masih tetap dengan keputusan yang ada saat ini.

Andriono mendukung kebijakan tersebut, dengan menilai bahwa saat ini tidak alasan yang kuat untuk menaikkan tarif cukai. Selain bakal menekan IHT, naiknya tarif justru semakin mendorong peredaran rokok ilegal.

Pada kuartal pertama 2019, penerimaan cukai rokok naik Rp 21,35 triliun atau tumbuh 165 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018.

Menurut Andriono, kenaikan ini tidak terlepas dari pemberantasan rokok ilegal yang dilakukan pemerintah, sejalan dengan target pemerintah menekan peredaran rokok ilegal turun menjadi 3 persen.

Sementara itu, anggota Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, mengatakan industri hasil tembakau harus diberi ruang agar bisa bertahan dari tren yang sedang menurun.

"Keputusan tidak menaikkan cukai cukup bijaksana. Industri jangan malah ditenggelamkan oleh regulasi dan kebijakan yang memberatkan," ujar Hendrawan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya