Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan penetapan hutan adat. Ini karena sebagian besar wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan mempunyai penguasaan dan kepemilikan.
Pengamat Kehutanan dan Lingkungan, Sadino mengatakan, penetapan hutan adat sebaiknya dilakukan pada kawasan hutan dengan status kepemilikan hutan yang bebas dari konflik.
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu memperbaharui data base kehutanan, termasuk penetapan kawasan hutan adat.
Advertisement
Baca Juga
"Penetapan hutan adat tidak sekedar menerbitkan Perda. Harus ada penyusunan peta indikatif yang terverifikasi di lapangan. Jika ada kawasan yang telah menjadi hak orang lain seperti HGU (Hak Guna Usaha) sebaiknya dikeluarkan agar tidak bermasalah di kemudian hari," ujar dia di Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Pemegang HGU, lanjut dia, juga perlu dilindungi karena saat mendapat hak pelepasan, mereka punya kewajiban untuk menyelesaikan dengan pihak lain untuk pembebasan dan ganti rugi lahan. Pemegang HGU juga dibebani dengan kewajiban untuk membayar pajak.
"Jika hak kepemilikan pemegang HGU diabaikan, konflik tenurial berpotensi semakin meruncing. Persoalannya tidak hanya sebatas dalam ranah bersengketa, tapi langsung menjadi konflik di lapangan. Okupansi dan sengketa lahan di lapangan akan menjadi bagian tidak akan terelakkan," lanjut dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Hutan Adat Memberi Kepastian bagi Masyarakat Adat
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Yanto Santosa mengatakan, kebijakan hutan adat pada dasarnya menjamin kepastian bagi masyarakat adat dan berpotensi memperkecil persoalan tenurial.
Hanya saja, dalam pemanfaatannya harus tetap megikuti fungsi hutan yang telah ditetapkan.
Misalnya, ketika pemerintah menetapkan kawasan Taman nasional sebagai hutan adat, masyarakat adat harus tetap melakukan fungsi konservasi dan menjaga kawasan tersebut.
“Sebaliknya, jika hutan adat berada di fungsi hutan produksi, hormati keinginan masyarakat untuk menanam apapun termasuk sawit,” ungkap dia.
Menurut Yanto, sebelumnya penetapan kawasan perlu ditetapkan peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif untuk menjamin usulan-usulan di daerah yang telah memiliki subjek dan objek masyarakat hukum adat.
"Ini agar potensi konflik antara masyarakat adat dan kelompok pendatang yang mengatasnamakan masyarakat bisa dipilah,” tandas dia.
Advertisement