Liputan6.com, Jakarta - Dengan perkembangan digital yang kian pesat, pemungutan pajak di sejumlah sektor pun menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk dilakukan.
Dalam mendorong laju investasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) salah satunya mengatakan bahwa Pemerintah akan melanjutkan reformasi perpajakan berupa perbaikan administrasi, peningkatan kepatuhan, serta penguatan basis data dan sistem informasi perpajakan.
Advertisement
Baca Juga
"Pemerintah memberikan insentif perpajakan melalui beberapa instrumen, yaitu: perluasan tax holiday, perubahan tax allowance, insentif investment allowance, insentif super deduction untuk pengembangan kegiatan vokasi dan litbang serta industri padat karya. Untuk industri padat karya, memperoleh juga fasilitas pembebasan Bea Masuk dan subsidi pajak," tuturnya di Kompleks DPR RI, Jumat (16/8/2019).
Jokowi melanjutkan, Pemerintah juga akan menempuh kebijakan penyetaraan level playing field, bagi pelaku usaha konvensional maupun e-commerce, untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan di era digital.
Sementara itu, reformasi PNBP dilakukan melalui penguatan regulasi dan penyempurnaan tata kelola dengan tetap menjaga kualitas pelayanan publik.
"Untuk mencapai sasaran pembangunan di atas, diperlukan peningkatan pendapatan negara pada tahun 2020 menjadi sebesar Rp2.221,5 triliun. Mobilisasi pendapatan negara dilakukan, baik dalam bentuk optimalisasi penerimaan perpajakan, maupun reformasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)," paparnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tax Amnesty Jilid II Rugikan Wajib Pajak yang Patuh
Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo sangat tidak mendukung rencana Pemerintah untuk menggelar pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Menurutnya, hal ini buruk bagi masa depan Indonesia. Apalagi pengampunan pajak jilid II merupakan sinyal bagi negara telah disetir oleh kepentingan tertentu.
"Kami tidak setuju dan menolak tegas wacana tax amnesty jilid II. Pemberian tax amnesty dalam jangka pendek jelas menjadi sinyal buruk bahwa pemerintah bisa diatur oleh segelintir kelompok kepentingan. Hal ini juga akan melukai rasa keadilan bagi yang sudah ikut tax amnesty dengan jujur, bagi yang selama ini sudah patuh," tuturnya seperti ditulis Minggu (4/8/2019).
Yustinus menjelaskan, kewibawaan negara semestinya harus melampaui urusan-urusan partikular yang sifatnya subjektif dan oportunistik. Sebab itu, pihaknya menolak tegas wacana tax amnesty Jilid II untuk kepentingan apapun.
"Pengampunan pajak yang diberikan 2016-17 sudah menunjukkan kebaikan hati Pemerintah untuk menunda penegakan hukum, dan seharusnya dimanfaatkan dengan maksimal oleh wajib pajak. Apalagi telah diiringi dengan kebijakan insentif pajak yang cukup signifikan dan kelonggaran penegakan hukum," ujarnya.
Sementara itu, di sisi lain, pihaknya menyarankan pemerintah sebaiknya fokus pada penyempurnaan regulasi perpajakan. Dengan lebih kredibel dan akuntabel, penerimaan pajak negara bisa dioptimalkan sehingga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi kedepan.
"Ketimbang terus berkompromi dengan pihak yang sejak awal tidak punya niat untuk patuh dan terbiasa menjadi penumpang gelap republik ini," terangnya.
"Jadi saya mengajak komunitas intelektual, masyarakat sipil, pegiat demokrasi, profesional, dan siapapun yang menaruh perhatian bagi masa depan Republik yang lebih baik untuk bersatu, mengingatkan, mengkritik, dan mengawal Presiden, Menteri Keuangan, dan otoritas pajak, agar tetap teguh dan tegak lurus pada kepentinhan nasional dan kemaslahatan bangsa dan negara," tambah dia. Â
Advertisement