APPBI Sebut Perda Perpasaran Matikan UMKM

Perda DKI Jakarta mewajibkan Pengelola Pusat Belanja untuk menyediakan ruang usaha sebesar 20 persen untuk UMKM dengan gratis.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Des 2019, 14:18 WIB
Diterbitkan 10 Des 2019, 14:18 WIB
(Foto: Liputan6.com/Pramita T)
Ketua Umum DPP APPBI, Stefanus Ridwan (Foto:Liputan6.com/Pramita T)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan mengatakan, pihaknya mengapresiasi Program Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Naik Kelas yang dicanangkan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).

Sebab, menurutnya, program tersebut berbanding terbalik dengan kebijakan yang diterapkan Pemprov DKI Jakarta terkait UMKM melalui kebijakan Perdanya.

"Jangan seperti yang tercantum dalam Perda No 2 Tahun 2018 tentang Perpasaran. Perda ini mewajibkan Pengelola Pusat Belanja untuk menyediakan ruang usaha sebesar 20 persen untuk UMKM dengan gratis. Bagi APPBI, aturan ini tidak mungkin untuk diterapkan," tegas Stefanus di Jakarta, Selasa (10/12/2019).

“Kalau itu (perda Perpasaran) bukan naik tingkat, tapi malah membunuh UMKM yang ada,” lanjut dia.

Keharusan bagi para pengelola pusat belanja untuk menyediakan ruang usaha 20 persen dan diberikan secara gratis, justru menurutnya, persaingan antar UMKM nantinya jadi tidak sehat.

"Saat ini sudah ada 50 ribu lebih UMKM yang beroperasi di pusat-pusat belanja," ungkapnya.

Untuk diketahui, terang dia, mal yang ramai saja saat ini jangka waktu untuk bisa balik modal atau Break Event Point (BEP) sekitar 10-11 tahun, bahkan bisa 15-17 tahun.

"Itu artinya jika ditambah kewajiban untuk memberikan ruang usaha 20 persen, BEP-nya menjadi tak terhingga. Para owner bilang, kalau begini kita tutup aja semua. Kalau tutup saya kira, yang dirugikan banyak,” tandas Ridwan.

Yang jelas, kata dia, aturan tersebut juga sulit untuk diterapkan. Sebab untuk pusat perbelanjaan strata title, semua kios sudah laku terjual. Adapun untuk leased mall, pengelola memiliki kontrak dengan penyewa dari 5 hingga 10 tahun.

"Walaupun sewa digratiskan dan service charge-nya kecil, gaji karyawan mereka juga mahal. Apalagi kalau mengikuti jam operasional mall, harus ada tiga shift. Satu kios (UMKM) enggak akan sanggup bayar. Ujung-ujungnya satu orang jaga lima sampai sepuluh counter. Kalau begini bagaimana jualannya?” ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kerja Sama dengan Pengelola Pusat Belanja

[Fimela] Indonesia Great Sale
Press Conferrence kedua Indonesia Great Sale | APPBI

Menurutnya, ada alternatif lain selain UMKM diberikan tempat gratis, misalnya UMKM bekerjasama dengan pengelola pusat belanja membuat event-event.

“Yang benar itu pameran di mall-mall kita. (Pameran) itu menjadi kesempatan mereka untuk branding. Sehingga, kalau dia tidak jualan lagi, orang tetap datang ke rumahnya. Itu lebih mudah dan lebih ringan. Ini yang mesti dijalankan. Nanti kalau sudah kuat baru masuk mall, lalu pilih mall mana yang cocok. Karena enggak semua mall cocok (dengan produk UMKM),” ujarnya.

Mengenai masalah Perda ini, Ketua DPD APPBI DKI Jakarta, Ellen Hidayat, mengatakan, pihaknya menawarkan usulan tentang perlunya membangun sentra UMKM di lima wilayah di Jakarta.

“Di Korea, ada gang yang dulu perumahan, tapi saat ini dijadikan tempat destinasi pariwisata yang isinya UMKM semua. Nah, bagi kami, kenapa tidak dibuat di lima wilayah (Jakarta) ini misalnya,” kata Ellen.

Adapun, Ketua Bidang Hukum Advokasi APPBI, Heri Sulistyono, mengatakan bahwa pada prinsipnya APPBI tidak anti UMKM. APPBI siap bermitra dengan UMKM.

“Namun, prinsip kemitraan itu kan jelas, saling memerlukan, saling menguatkan, dan saling menguntungkan. Jadi jangan ada yang dimatikan,” jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya