Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Jokowi-Ma'ruf masih merancang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja klaster ketenagakerjaan. Hingga kini, sejumlah rumor atas pembahasan undang-undang sapu jagat tersebut terus berkembang salah satunya terkait penghapusan pesangon.
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah membantah pemerintah akan menghilangkan pesangon dalam Omnibus Law. Menurutnya, isi Omnibus Law akan disampaikan oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.
"Enggak. Enggak benar pesangon dihilangkan. Pada saatnya Kemenko akan sampaikan kepada publik," ujar Ida saat ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (14/1).
Advertisement
Ida mengatakan, sejauh ini Omnibus Law belum masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Sehingga belum ada satupun Omnibus Law yang sudah dibahas secara resmi bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Baca Juga
"DPR sendiri kan juga belum memutuskan prolegnas, listnya belum. Prioritas 2020 belum. Kami akan ikuti proses yang ada di DPR kapan pemerintah akan sampaikan ke DPR setelah prolegnas disepakati kemudian priroitas 2020 disepakati Omnibus Law masuk baru kemudian DPR sama pemerintah akan ketemu," jelasnya.
Ida juga menanggapi, waktu kerja 8 jam yang beberapa waktu lalu banyak mendapat penolakan. Menurutnya, jam kerja buruh maupun karyawan tetap 40 jam dalam satu minggu. Namun, ada fleksibilitas terhadap pekerjaan yang pada dasarnya tidak bekerja 8 jam per hari.
"Jam kerja tetap saja, jam kerja paling lama 8 jam dalam satu hari, dalam satu minggunya 40 jam. Bagaimana dengan pekerjaan yang jam kerjanya kurang dari itu? Maka disini pemerintah akomodasi karena fleksibilitas itu," jelasnya.
"Jadi pemerintah mengakomodasi pekerjaan yang kurang dari 8 jam dan kurang dari 40 jam dalam seminggu. Ini kan dibanyak negara fleksibilitas itu ada. Tapi secara umum pekerjaan jam kerja itu 8 jam, paling lama," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Omnibus Law Bakal Hapus Upah Minimum dan Pesangon Buruh?
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak rencana pemerintah mendorong investasi dan meningkatkan lapangan kerja melalui penyusunan Omnibus Law di sektor ketenagakerjaan.Â
Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan, Omnibus Law bukan cara yang tepat untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, Omnibus Law dikhawatirkan akan semakin menekan tingkat kesejahteraan para pekerja.
Berdasarkan pernyataan Menteri Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan, Said Iqbal mencatat setidaknya ada lima hal mendasar yang disasar Omnibus Law.
Pertama, Menghilangkan Upah Minimum
Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini terlihat dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.
Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan, maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.
"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," kata Iqbal.
Namun demikian, menurut dia, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.
Di Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.
"Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," tegasnya.Â
Advertisement