BI Longgarkan Pelaporan Kewajiban Bayar buat Bank Umum dan Eksportir Non Migas

Relaksasi batas waktu pelaporan dan pembebasan sanksi kewajiban membayar atas keterlambatan terhadap pelaporan tertentu berlaku sejak 31 Maret 2020.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 01 Apr 2020, 14:15 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2020, 14:15 WIB
Ilustrasi Bank Indonesia
Ilustrasi Bank Indonesia

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) melonggarkan atau memberikan relaksasi kewajiban pelaporan yang ditujukan kepada bank umum dan eksportir non sumber daya alam.

"Relaksasi tersebut berupa perpanjangan batas waktu pelaporan dan pembebasan sanksi kewajiban membayar atas keterlambatan terhadap pelaporan tertentu," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Onny Wijanarko di Jakarta, Rabu (1/4/2020).

Kelonggaran ini juga diberikan kepada eksportir Non Sumber Daya Alam (Non SDA) yang belum memenuhi ketentuan terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE) Non SDA.

Relaksasi terhadap eksportir Non SDA yang belum memenuhi ketentuan adalah berupa penundaan pengenaan Sanksi Penangguhan Ekspor (SPE) hingga akhir September 2020.

Pemberian relaksasi ini bertujuan untuk memitigasi dan mengurangi dampak pandemi COVID-19 terhadap aktivitas perbankan dan dunia usaha, serta kondisi perekonomian.

Relaksasi batas waktu pelaporan dan pembebasan sanksi kewajiban membayar atas keterlambatan terhadap pelaporan tertentu berlaku sejak 31 Maret 2020 hingga batas waktu yang ditetapkan kemudian.

BI terus berkoordinasi dengan Pemerintah, OJK, dan otoritas terkait lainnya guna menempuh langkah-langkah kebijakan yang diperlukan, memastikan kepatuhan terhadap ketentuan dengan tetap memitigasi risiko terhadap perekonomian nasional.

 


Sri Mulyani Beri Bank Indonesia Kewenangan Bailout Bank Sistemik

Rapat Kerja
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Bank Indonesia (BI) akan kembali memiliki kewenangan untuk melakukan bailout ke bank-bank sistemik lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Hal tersebut merujuk pada Perppu yang diteken Presiden Joko Widodo, Selasa (31/3/2020),  yaitu Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Salah satu ketentuan dalam Perppu, menyebutkan Bank Indonesia (BI) diberikan kewenangan untuk melakukan pembelian surat utang konvensional maupun syariah yang diterbitkan oleh negara. Kewenangan ini diberikan dalam rangka penanganan permasalahan likuiditas dan stabilitas sistem keuangan di dalam negeri.

“Ini akan sangat hati hati untuk menjaga ketenangan market. BI bisa beli repo dari LPS apabila ada masalah di bank sistemik maupun nonsistemik. Sumber pendanaan LPS ada berbagai opsi dan fleksibilitas agar LPS bisa menangani apabila dampaknya meluas,” kata Sri Mulyani, Rabu (1/4/2020).

Namun, dalam kondisi pandemi saat ini, pemerintah menilai perlu ada upaya luar biasa untuk mengantisipasi potensi pemburukan di sektor keuangan.

“Dalam Perppu ini diatur bahwa BI diberikan kewenangan untuk membeli SUN dan SBSN di pasar perdana, bukan sebagai first lender tapi sebagai last lender. Dalam hal pasar tidak bisa memnyerap kebutuhan penerbitan SUN maupun SBSN baik karena jumlahnya ataupun karena suku bunga terlalu tinggi,” Ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam kesempatan yang sama.

Berdasarkan Pasal 16 Ayat 1 poin (c), disebutkan nantinya BI akan diberikan kesempatan untuk membeli Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara di pasar perdana. Hal ini dilakukan untuk penanganan permasalahan perekonomian nasional.

Adapun surat berharga yang dimaksud juga termasuk yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khusus untuk penanganan pandemi seperti ini.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya