Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo menargetkan nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp 14.600 per USD pada tahun 2021. Hal ini diungkapkan Jokowi dalam pembacaan Nota Keuangan RAPBN 2021.
Menanggapi itu, Peneliti INDEF, Bhima Yudhistira menilai target pemerintah cukup optimis. Hanya saja pemerintah masih kurang memiliki sense of crisis karena perekonomian dunia masih cukup beresiko.
Baca Juga
Padahal kondisi pandemi ini masih memiliki resiko tinggi yang bisa menyebabkan nilai tukar rupiah tembus di angka Rp 15.500 sampai Rp 17.500 per dolar.
Advertisement
"Resiko juga masih cukup tinggi dan sangat mungkin bisa sampai Rp 15.500 bahkan sampai Rp 17.500," kata Bhima saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Jumat (14/8).
Bhima menjelaskan, kondisi ini bisa terjadi karena realisasi investasi dan devisa pariwisata yang masih rendah. Begitu juga dengan kinerja ekspor yang masih rendah. Maka cara singkat yang dilakukan dengan mencetak utang baru.
"Maka cara yang diandalkan adalah pemerintah cetak utang," kata dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan penambahan utang baru ini kebijakan yang tidak berkelanjutan. Apalagi pelebaran defisit anggaran direncanakan menjadi 5,5 persen dari PDB. Namun, pelebaran defisit itu lebih banyak untuk memperkuat nilai tukar.
"Pembiayaan yang cukup besar itu digunakan sebagai strategi untuk menguatkan nilai tukar Rupiah," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Luar Negeri Indonesia Naik, Sentuh Rp 6.086 Triliun
Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia meningkat. Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan II 2020 tercatat sebesar USD 408,6 miliar, atau setara dengan Rp 6.086 triliun (kurs rupiah 14.917 per dolar AS).
Utang tersebut terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar USD 199,3 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD 209,3 miliar.
Dikutip dari laporan Bank Indonesia, Jumat (14/8/2020), utang Indonesia tersebut tumbuh 5 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 0,6 persen (yoy).
Kenaikan disebabkan oleh transaksi penarikan neto ULN, baik ULN Pemerintah maupun swasta. Selain itu, penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan nilai ULN berdenominasi Rupiah.
Utang Pemerintah mencatat peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Posisi ULN Pemerintah pada akhir triwulan II 2020 tercatat sebesar 196,5 miliar dolar AS atau tumbuh 2,1 persen (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya mengalami kontraksi 3,6 persen (yoy).
Peningkatan ULN Pemerintah terjadi seiring penerbitan Sukuk Global untuk memenuhi target pembiayaan, termasuk satu seri Green Sukuk yang mendukung pembiayaan perubahan iklim. Selain itu, arus masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang masih cukup tinggi mengindikasikan persepsi yang positif terhadap pengelolaan kebijakan makroekonomi dalam memitigasi dampak pandemi COVID-19, menjaga stabilitas dan mendorong pemulihan ekonomi.
Utang Luar Negeri Pemerintah tetap dikelola secara hati-hati dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas yang di antaranya mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (23,5 persen dari total ULN Pemerintah), sektor konstruksi (16,4 persen), sektor jasa pendidikan (16,3 persen), sektor jasa keuangan dan asuransi (12,4 persen), serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (11,7 persen).
Advertisement