Pengusaha Penyeberangan Sebut Aturan Short Sea Shipping Timbulkan Kekacauan

Program short sea shipping menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar pelaku usaha penyeberangan.

oleh Tira Santia diperbarui 09 Okt 2020, 16:50 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2020, 16:50 WIB
H-6 Lebaran, Pemudik Kapal Laut Terus Padati Pelabuhan Tanjung Priok
Pemudik menaiki KM Dobonsolo tujuan Tanjung Emas Semarang di Terminal Nusantarapura, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (30/5). Jumlah pemudik yang menggunakan kapal laut dari Pelabuhan ini diprediksi akan bertambah hingga hari puncak 1 Juni 2019. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (GAPASDAP) Khoiri Soetomo, menilai bahwa program short sea shipping menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar pelaku usaha penyeberangan.

“Kita tahu adanya regulasi-regulasi pembatasan, dan juga wajib harus ada physical distancing dan lebih parah lagi karena regulasi yang juga saling bertabrakan antara Perhubungan laut dan Perhubungan Darat, maka kondisi yang sangat parah ini diperparah lagi dengan persaingan yang tidak sehat dengan adanya program short sea shipping,” kata dalam MarkPlus Industry Roundtable: Transportation Perspective, Jumat (9/10/2020).

Selain itu, adanya pembatasan kapasitas kapal sebesar 50 persen mengganggu aktivitas transportasi penyebrangan. Ditambah dioperasikannya short sea shipping menyebabkan para pengusaha penyebrangan saling berhimpit dengan lintas penyeberangan.

“Kami punya pelabuhan penyeberangan dari Ketapang ke Gilimanuk, Jawa-Bali, Bali-Lombok tapi langsung ada serta merta memberi izin baru dan mengambil pasar kami menghimpit langsung dari Ketapang menuju ke Lombok. Ini menimbulkan kekacauan,”ujarnya.

Menurutnya bila diingat kembali, hadirnya pemerintah sangat penting dalam industri ini karena kapal penyeberangan itu satu-satunya moda transportasi yang bilamana pihaknya berhenti beroperasi, biaya pengusaha penyebrangan masih tetap harus keluar.

“Karena genset harus jalan 24 jam, awak kru-nya juga harus memenuhi persyaratan ke pengawakan yang jumlahnya sangat besar karena ada padat karya dan itu harus standby 24 jam, dan pemeliharaannya juga harus dihitung secara tahun kalender,” ujarnya.

Demikian, ia mengatakan adanya perlakuan pengelola Pelabuhan yang semakin tidak adil dan cenderung memonopoli industri penyebrangan ini, sehingga membuat para pengusaha penyeberangan merasa terbebani di masa pandemi covid-19 ini.

Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada Pemerintah untuk memberikan bantuan atau subsidi untuk industri transportasi penyeberangan.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Menilik Dampak Short Sea Shipping Jika Tak Dikoordinasikan dengan Baik

20151211-Presiden Sambut Kapal Pengangkut Ternak KM Camara Nusantara I
Kapal Pengangkut Ternak KM Camara Nusantara I bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (11/12). Kapal ini dapat membawa 500 sapi dengan melayani trayek Kupang-Bima-Tanjung Perak-Tanjung Emas-Bima-Kupang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Dioperasikannya pelayaran jarak pendek atau short sea shipping (SSS) berpotensi memicu berbagai persoalan. Mulai dari gesekan atau himpitan lintasan dengan penyeberangan, tumpang tindih perizinan, hingga mengancam investasi.

“Beroperasinya lintasan short sea shipping menimbulkan potensi lintasan berhimpit antara satu sama lain. Jika tidak dikoordinasikan secara baik akan menimbulkan masalah dan mengancam investasi,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo dalam diskusi virtual, Rabu (16/9/2020).

 

Menurut Khoiri, potensi lintasan berhimpit tersebut dapat terjadi dikarenakan perijinan yang dikeluarkan oleh dua Direktorat dalam satu Kementerian Perhubungan. Yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut tanpa adanya koordinasi dan batasan yang jelas, baik dari sisi jarak lintas maupun spesifikasi kapal yang digunakan.

Sebagai contoh, ia menyebutkan sejumlah lintasan pelayaran jarak pendek yang dioperasikan berhimpit, di antaranya Lintasan Lembar-Padangbai dan Ketapang-Gilimanuk (Ditjen Darat) dengan Lintasan Tanjung Wangi-Lembar (Ditjen Laut), Lintasan Surabaya-Lembar terdapat dua perusahaan yang mengoperasikan kapal di lintas yang sama dengan perizinan yang berbeda di mana satu menggunakan perizinan Ditjen Darat dan Ditjen Laut.

Kemudian Lintasan Merak-Bakauheni (Ditjen Darat) dan Bojonegara-Bakauheni (Ditjen Laut) dan Lintasan Merak-Bakauheni (Ditjen Darat) dan Ciwandan-Panjang (Ditjen Laut).

Dari pelaksanaan lintas short sea shipping tersebut, kata Khoiri, terkesan tidak ada sinkronisasi kebijakan dalam satu kementrian terhadap moda yang sama dan segmen pasar yang sama. “Ini praktik saling ‘membunuh’ antara lintas yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut,” kata dia.

Adapun akibat yang ditimbulkan dengan beroperasinya lintasan berhimpit antara lain, lintas penyeberangan yang ada terlebih dahulu akan mengalami pengurangan muatan secara signifikan. Sehingga, pemerintah dan pengusaha yang telah berinvestasi di lintas penyeberangan semakin mengalami kesulitan dalam mengoperasikan kapal-kapalnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya