Deretan Maskapai di Dunia yang Terancam Bangkrut Imbas Covid-19

Maskapai penerbangan yang sedikit mendapatkan sokongan dari eksekutif pemerintahnya berkemungkinan besar untuk bangkrut di tengah Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Nov 2020, 21:00 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2020, 21:00 WIB
Ilustrasi pesawat United Airlines.
Ilustrasi pesawat United Airlines. (dok. Skeeze/Pixabay/Tri Ayu Lutfiani)

Liputan6.com, Jakarta Memiliki pemerintahan dengan anggaran negara yang besar menjadi sebuah kunci untuk keselamatan bisnis maskapai penerbangan selama pandemi Covid-19 ini.

Menurut salah satu analis Bloomberg, maskapai penerbangan yang sedikit mendapatkan sokongan dari eksekutif pemerintahnya berkemungkinan besar untuk bangkrut.

Dengan menggunakan metode Z-Score yang dikembangkan oleh Edward Altman di tahun 1960 untuk memprediksi sebuah kebangkrutan, pihak Bloomberg menganalisa sejumlah data tersedia dari berbagai macam maskapai penerbangan komersil, untuk mengidentifikasi mana yang akan mengalami keruntuhan finansial.

Dibandingkan dengan analisa serupa yang dilakukan pada bulan Maret lalu, saat virus Covid-19 pertama kali menyebar di luar China menuju Eropa, hasil laporan menunjukan imbas paling berdampak diraskan oleh maskapai penerbangan di Negara Barat.

Melansir Bloomberg, Senin (2/11/2020), setidaknya 4 dari 10 maskapai penerbangan pada periode tersebut sudah kembali bangkit perlahan-lahan kecuali untuk yang di Asia.  

Daftar maskapai yang kesulitan sekarang ini lebih banyak diisi oleh maskapai dari Afrika, dan Amerika Latin. Dimana diantaranya bahkan sudah mulai melipat administrasi pengurusannya. Pihak dari Medview Airlines Plc, Precision Air Services Ltd, Groupo Aeromexico SAB, dan Gol Linhas Aereas Intelegentes SA, pun saat ini masih belum merespon tanggapannya untuk isu tersebut.

AirAsia Group Bhd dan Azul SA menolak untuk berkomentar. Sedangkan Thai Airways International Pcl menyatakan bahwa rencananya untuk melakukan organisasi ulang akan diusulkan kepada Central Bankruptcy Court pada akhir tahun ini dan berjanji untuk memenuhi komitmen perusahaannya kepada kreditur.

Juru bicara dari Pakistan International Airlines Corp mengatakan bahwa walaupun data menunjukan kekurangan maskapai melebihi aset yang ada sebanyak empat kali, realita yang ada justru berbeda.

"Realita yang ada justru berbeda, karena kekurangan tersebut di garansi dan servis yang ada dilakukan melalui anggaran pemerintah. Dengan begitu kondisi ini sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang ditampilkan, sebagai perbandingan kondisi kami cukup baik," jelas jubir Pakistan International Airlines.

Asia juga tidak terkecuali terdampak dari krisis ini, maskapai AirAsia sekarang ini mempunyai hutang perusahaan sekitar USD 15 miliar. Dan dari pihak Malaysia Airlines, masih belum ada kepastian. Direktur dari pengembangan aviasi di Malaysian Aviation Commision, Germal Singh, menyatakan bahwa baru-baru ini pihak pemerintah nampaknya menyatakan untuk tidak mengintervensi isu krisis ini.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Siapa yang Paling Tertekan?

Maskapai Virgin Australia Nyaris Kolaps Akibat Corona, Salah Satu Pemilik Jaminkan Pulau di Karibia
Ilustrasi Virgin Australia. (dok. SAEED KHAN / AFP)

Di Amerika Latin, Grupo Aeromexico SAB bulan lalu mendapatkan pinjaman kebangkrutan, sementara maskapai penerbangan terbesar di Kolumbia, Avianca Holdings SA, masih menunggu keputusan dari pengadilan untuk tunjangan rencana finansial sebanyak USD 2 miliar.

Presiden Mexico, Andres Manuel Lopez Obrador melakukan bailout untuk sejumlah perusahaan besar. Sementara pengadilan Kolumbia memblokir USD 370 juta dana bantuan pemerintah untuk Avianca, setelah sejumlah masyarakatmenyuarakan keresahannya terhadap kurangnya garansi.

Bertolak belakang dengan beberapa wilayah di Asia. Walaupun Singapore Airlines, Ltd harus memotong sekitar 20 persen tenaga kerjanya, tapi mereka berhasil mengumpulkan USD 11 miliar dari pinjaman yang di sokong oleh investor Temasek Holding Pte. Cathay Pacific Airways Ltd, yang juga memotong sejumlah tenaga kerjanya juga mengumpulkan miliaran USD dari bantuan pemerintah Hong Kong.

"Sudah banyak usaha dan kinerja baik dari pemerintahan untuk menyokong situasi finansial dari para perusahaan maskapai penerbangan tersebut," kata direktur International Air Transport Association, General Alexandre de Juniac pada bulan lalu.

"Tapi hal serupa sayangnya belum terjadi di Amerika Latin, kita masih melihat kebangkrutan, dimana beberapa perusahaan maskapai terus membakara dananya hingga tahun depan,". "Tanpa adanya bantuan finansial, banyak perusahaan maskapai tidak akan bertahan setidaknya sampai musim dingin," tambah Juniac.

Metode Z-score sendiri menggunakan 5 variabel, yaitu, likuiditas, solvabilitas, keuntungan, pengaruh, dan performan finansial terbaru. Metode model ini dinilai oleh Altman pada wawancaranya di tahun 2008 , mempunyai nilai akurasi dari 80 persen hingga 90 persen.

Skor dibawah angka 1.8 diindikasikan berbahaya akan kebangkrutan dalam waktu 2 tahun. Semetara untuk angka yang dekat dengan skor 3, menandakan perusahaan tersebut berada dalam posisi aman.

Dari beberapa maskapai yang sudah disebutkan, Virgin Australia Holdings Ltd dan Nok Airlines Pcl, dinilai menjadi aviasi yang sangat terancam. Virgin Australia sendiri sekarang sedang menjalani struktur ulang dibawah kepemimpinan baru Bain Capital LP, sementar Nok Airlines telah mengajukan bantuan kepada Bankruptcy Court negaranya untuk tujuan rehabilitasi bisnis.

Berdasarkan data analisa dari Bloomberg Intelligence, secara rata-rata ada kemunkingan 12,6 persen maskapai penerbangan akan membatalkan pesanan pesawat dari Airbus.

Situasi bahkan akan jauh lebih buruk untuk Boeing, yang mempunyai kemungkinan 14 persen untuk pemabatalan produksi, dengan American Airlines Group dan United Airlines berkemungkinan besar mengubah rencana besar mereka.

Menurut analis BI, George Ferguson yang ditulis pada 10 Oktober lalu, sebanyak 900 pesawat dari jenis Boeing dan Airbus datang dari costumer yang tidak teridentifikasi. Banyak maskapai yang sedang melakukan proses rekonstruksi, seperti Avianca dan Latam Airlines Group untuk Airbus, Aeromexico dan VirginAustralia untuk Boeing yang kedua mengalami resiko terbesar atas pembatalan.

"Yang terburuk belum dialami oleh banyak maskapai," ujar Akbar Al Bake, CEO dari Qatar Airways, yang mana maskapai tersebut sudah mendapatkan dana bantuan sebesar USD 2 miliar.

"Maskapai penerbangan harus dibantu oleh pemerintahnya untuk bisa bertahan," tambah Bake.

 

Reporter: Yoga Senjaya Putra

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya