16 Perusahaan Antre Minta Izin Selenggarakan Layanan Equity Crowdfunding ke OJK

OJK menilai pasar memberikan respons positif terhadap layanan urun dana, baik itu Equity Crowdfunding atau pun Securities Crowdfunding.

oleh Andina Librianty diperbarui 27 Jan 2021, 14:23 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2021, 14:22 WIB
Ilustrasi OJK 2
Ilustrasi OJK

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pasar memberikan respons positif terhadap layanan urun dana, baik itu Equity Crowdfunding atau pun Securities Crowdfunding. Salah satunya dengan pertumbuhan jumlah penyelenggara yang antre untuk mendapatkan izin.

OJK saat ini memperluas permodalan ke sektor usaha kecil dan menengah (UKM) melalui POJK 57/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi (POJK 57 Securities Crowdfunding. Regulasi ini ditetapkan pada Desember 2020.

Jenis efek yang ditawarkan melalui layanan urun dana baru ini diperluas dari yang sebelumnya hanya saham ditambah efek bersifat utang dan sukuk (EBUS). Regulasi ini menggantikan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding)

Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2B OJK, Ona Retnesti Swaminingrum, mengatakan bahwa OJK sudah membuka kembali kalan pendaftaran penyelenggara setelah sebelumnya sempat ditutup karena akibat Covid-19.

Berdasarkan data OJK per 31 Desember 2020, terdapat 16 calon penyelenggara dalam proses perizinan Equity Crowdfunding, dan tiga calon penyelenggara dalam proses perizinan Securities Crowdfunding.

"Bisa dilihat dari animonya di database. Setelah pendaftaran kita buka lagi, sudah ada 16 yang masuk menandakan animonya sudah besar. Jumlah penerbitnya juga sudah cukup banyak," tutur Ona dalam konferensi online pada Rabu (27/1/2021).

Adapun kehadiran peraturan baru ini disebut memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pemodal. Selain itu, juga memberikan tanggung jawab kepada penyelenggara untuk memastikan proses urun dana berjalan dengan baik sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Sementara untuk UKM, kebijakan ini memberikan peluang lebih luas untuk mendapatkan pendanaan.

"Kebijakan ini meningkatkan tata kelola karena sekarang agak lebih ketat diatur. Positifnya ini adalah hal yang bagus dan mereka merasa aman dan tenang dalam menjalankan pekerjaan karena rambu-rambu yang harus dilalui. Bagi penerbit juga sama karena ada beberapa ketentuan yang diatur, ada larangannya, proyeknya sendiri juga diatur seperti apa," jelas Ona.

Hingga 31 Desember 2020, OJK telah mengeluarkan izin penyelenggara Equity Crowdfunding kepada empat perusahaan, yaitu PT Santara Daya Inspiratama (Santara) pada 6 September 2019, PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare) pada 6 November 2019, PT Crowddana Teknologi Indonusa (Crowddana) pada 31 Desember 2019, dan PT Numex Teknologi Indonesia (LandX) pada 23 Desember 2020.

Sampai akhir tahun lalu, total perhimpunan dana yang diperoleh Santara sebesar Rp 114 miliar, Bizhare Rp 32 miliar, Crowddana Rp 28 miliar, dan LandX Rp 11 miliar.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Securities Crowdfunding Jadi Harapan Baru UKM untuk Dapat Modal

20151104-OJK
Petugas tengah melakukan pelayanan call center di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta.. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis POJK 57/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi (POJK 57 Securities Crowdfunding atau SCF) pada Desember 2020. Peraturan OJK ini hadir sebagai alternatif bagi pelaku usaha pemula (start-up company) dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam mencari pendanaan bagi usahanya.

Regulasi ini menggantikan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding). Peraturan ini diperluas mencakup efek bersifat utang atau sukuk.

"Ini merupakan peraturan terusan atau pengganti dari POJK 37 itu. Kalau Equity hanya atur mengenai penawaran saham bersifat ekuitas, yang baru ini diperluas sehingga mencakup efek bersifat utang dan sukuk. Jadi lebih luas cakupannya," kata Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2B OJK, Ona Retnesti Swaminingrum, dalam konferensi pers virtual pada Rabu (27/1/2021).

Selain itu, POJK baru ini juga mengatur tentang kesempatan yang diberikan untuk pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Layanan urun dana ini, kata Ona, menjadi salah satu media untuk bisa membantu UMKM terutama di tengah pandemi Covid-19. Selain itu juga sekaligus sebagai bentuk mendukung peran pemerintah dalam pemerataan ekonomi nasional.

"Usaha-usaha kecil itu butuh pendanaan. Sementara pemodal yang bingung investasi dimana bisa lewat sini. Ini menjadi opsi lain di luar reksa dana, emiten dan lainnya," jelas Ona.

Ona menjelaskan SCF ini bukan layanan pinjaman online seperti peer-to-peer lending. Dalam SCF ini ada tiga pihak yang terlibat yaitu penyelenggara yang memiliki izin dari OJK, penerbit selaku pemilik usaha, dan pemodal.

Cara Kerja

Cara kerjanya adalah, penyelenggara akan berhubungan dengan penerbit yang mengeluarkan produknya berupa saham atau sukuk, kemudian melakukan perjanjian. Penyelenggara akan melakukan due diligence terlebih dahulu terhadap penerbit.

Kemudian penyelenggara akan membantu menawarkan saham atau efek penerbit tadi melalui website yang sudah berizin, agar dapat dilihat oleh calon pemodal.

"Penyelenggara ini akan di tengah-tengah, jadi memang tanggung jawab penyelenggara besar karena harus memastikan penerbitnya bagus memenuhi aturan berlaku dan pemiliknya aman di satu sisi," jelas Ona.

Layanan SCF ini antara lain memiliki jangka waktu penawaran selama satu tahun, dengan satu atau beberapa kali penawaran. Efek yang ditawarkan bersifat ekuitas, efek bersifat utang, dan sukuk. Nilai penawaran maksimal Rp 10 miliar. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya