Fintech P2P Lending Ternyata Berbeda dengan Pinjaman Online, Ini Penjelasannya

Fintech lending sering dikonotasikan dengan pinjaman online atau pinjol. Padahal sebenarnya kedua entitas usaha ini menjalankan bisnis yang berbeda.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Jan 2021, 13:16 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2021, 13:15 WIB
Korban Pinjaman Online Gelar Aksi Tuntut Keadilan
Masa yang tergabung gerakan bela korban pinjaman online menggelar aksi di depan PN Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (6/2). Mereka menuntut hakim untuk memberikan keadilan kepada korban rentenir online. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - terdapat pemahaman yang keliru di masyarakat dengan menyamakan antara fintech pendanaan atau peer-to-peer (P2P) lending dengan pinjaman online (pinjol). Padahal kedua entitas tersebut berbeda. Pinjaman online dipastikan ilegal karena tidak terdaftar maupun berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko, menjelaskan, fintech sering dikonotasikan dengan pinjaman online atau pinjol. Padahal sebenarnya kedua entitas usaha ini menjalankan bisnis yang berbeda. 

"Nah ini saya ingin menyampaikan kepada bapak-ibu anggota dewan yang terhormat. Izinkan kami memberikan penjelasan, bahwa fintech itu sering dikonotasikan dengan pinjaman online atau pinjol. Dimana, kita semua tahu istilah pinjaman online ini adalah ilegal bapak ibu, mereka tidak berizin atau tidak terdaftar di OJK tapi mereka menjalankan usaha seperti kita," terangnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI, Kamis (14/1/2021).

Selain itu, pinjol dipastikan tidak melakukan proses identifikasi, seleksi, dan proses skoring secara proper terhadap setiap calon penerima pinjaman dalam menjalankan bisnisnya. "Sehingga, mereka memberikan pinjaman secara serampangan atau gegabah," imbuhnya.

Sunu menambahkan, perbedaan lainnya ialah identitas dari pengurus pinjol maupun alamat kantornya tidak jelas. Lalu, sebagai jaminan, pinjol memilih untuk mengakses data pribadi pengguna secara bebas yang mana ini melanggar aturan POJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada akhir 2020.

"Kalo kami under POJK 77 kami sangat dibatasi data yang di ambil, kami tidak boleh mengakses data kontak. Nah, mereka ini mengakses data kontak, dimana data tersebut yang akhirnya digunakan pada saat untuk penagihan," ucapnya.

Oleh karena itu, dia meminta seluruh masyarakat agar tak tergiur oleh berbagai penawaran menarik dari pinjol. Mengingat ada banyak dampak negatif yang akan ditanggung pengguna.

"Jadi, ini yang membedakan antara kami dengan fintech ilegal atau pinjol yang ramai saat ini," tutupnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

Pengurus Baru, AFPI Punya 3 Fokus Perkuat Ekosistem Keuangan Digital

Fintech
Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Sebelumnya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) terus berbenah seiring semakin berkembangnya industri fintech peer to peer (P2Plending di Tanah Air.

Sejalan dengan hal itu, AFPI melalui kepengurusan yang baru (2020-2024), akan berfokus pada memperkuat ekosistem keuangan digital demi meningkatkan inklusi keuangan masyarakat.

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi mengatakan fokus asosiasi ke depan adalah bagaimana AFPI terus meningkatkan perannya sebagai penyedia layanan pinjaman online (fintech pendanaan) di Tanah Air.

“Sebagai program AFPI kedepan, demi meningkatkan perannya sebagai solusi keuangan digital, para anggota AFPI yang merupakan penyelenggara fintech pendanaan perlu terus memperluas area layanannya hingga ke seluruh wilayah di Tanah Air,” kata Adrian usai rapat kerja AFPI, Senin (7/12/2020).

Adrian menambahkan melalui kolaborasi dengan digital ekosistem, penyelenggara dapat memotret profil risiko UMKM tersebut lebih komprehensif.

Berdasarkan penelitian DailySocial Research yang bekerjasama dengan AFPI, bertajuk "Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia" mencatatkan bahwa peminjam fintech pendanaan didominasi oleh pelaku UMKM online dan offline. Pada fintech pendanaan klaster Syariah sebesar 70 persen UMKM online, klaster Produktif sebesar 42 persen UMKM offline dan klaster Konsumtif sebesar 64,1 persen UMKM offline.

“Kepengurusan AFPI yang baru ini diharapkan menjadi tim yang solid untuk menjalankan fokus utama organisasi untuk kemajuan industri, yang tentunya akan mewujudkan harapan bersama demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui inklusi keuangan yang meluas,” tutur Adrian.

Dalam kesempatan yang sama, Juru Bicara AFPI, Andi Taufan mengatakan, untuk mendukung terlaksananya fokus AFPI kedepan ini, para pengurus telah sepakat untuk bahu membahu mewujudkan cita-cita bersama asosiasi.

“Rapat kerja AFPI yang barusan digelar membahas program asosiasi kedepan dan bagaimana implementasinya. Tentunya perlu dukungan bersama, baik dari sesama anggota, regulator dengan regulasinya juga dari masyarakat termasuk lender dan borrower,” ujar Taufan.

Taufan menambahkan, pada dasarnya AFPI sangat mendukung langkah OJK untuk selalu mengembangkan dan memperbaiki regulasi yang ada. Termasuk RPOJK fintech P2P lending yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas industri.

Namun demikian, lanjut Taufan, secara garis besar RPOJK tersebut juga memiliki beberapa ketentuan yang dapat masih perlu dikoordinasikan dengan OJK untuk menjaga pertumbuhan industri fintech P2P lending dan inklusi keuangan yang diupayakan oleh penyelenggara.

AFPI sendiri telah memberikan sejumlah masukan atas Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (RPOJK LPBBTI) atau fintech P2P lending.

Taufan menambahkan RPOJK ini merupakan sebuah penantian yang diharapkan dapat memajukan serta mengembangkan inovasi pada sektor fintech pendanaan. AFPI sangat mendukung langkah OJK untuk selalu mengembangkan dan memperbaiki regulasi yang ada serta dapat meningkatkan kualitas industri fintech P2P lending.

“Kami berharap, RPOJK dapat dibuat dengan mengedepankan principle based approach sehingga dapat menghasilkan ketentuan yang mengedepankan esensi-esensi prinsipnya, dengan pertimbangan bahwa penyelenggara tidak menghimpun atau mengelola dana masyarakat serta bisnis model penyelenggara yang bersifat start-up yang perlu dapat bergerak cepat dan efisien,” tambah Taufan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya