Konsumsi Masyarakat Turun Gara-Gara Orang Kaya Irit Belanja

Kontraksi ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19 merupakan sebuah keniscayaan.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Mar 2021, 17:20 WIB
Diterbitkan 24 Mar 2021, 17:20 WIB
Mal di Jakarta Harus Tutup Pukul 19.00
Pengunjung melihat toko di mal Taman Anggrek, Jakarta, Senin (21/12/2020). Anies Baswedan menginstruksikan melalui Seruan Gubernur nomor 17 tahun 2020 agar kegiatan usaha seperti restoran, pusat perbelanjaan diharapkan dapat berhenti beroperasi pada pukul 19.00 WIB. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah menyebut, kontraksi ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19 merupakan sebuah keniscayaan.

Menyusul dampak dari berbagai kebijakan pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat guna memutus mata rantai penyebaran virus corona jenis baru itu.

"Dengan kebijakan pembatasan sosial aktivitas ekonomi tersebut, maka semua baik dari produksi maupun konsumsi dua duanya terdampak negatif," ungkapnya dalam acara Dialog Produktif Rabu Utama Menuju Sembuh Ekonomi Tumbuh, Rabu (24/3).

Piter mengungkapkan, turunnya konsumsi masyarakat sendiri tak lepas dari keputusan kelompok kelas atas yang kekeh untuk menahan pengeluarannya. Sikap irit sendiri lantaran kekhawatiran mereka untuk beraktivitas di luar rumah, termasuk berbelanja di masa kedaruratan kesehatan ini.

"Kemudian, Kelompok Menengah berikutnya juga harus jaga-jaga untuk masa depan mereka. Mereka masih tidak tahu sampai kapan pandemi berakhir. Mereka meyakinkan bahwa punya uang harus secure, sehingga menahan belanja," tambahnya.

Turunnya konsumsi ini diperparah dengan merosotnya kemampuan daya beli kelompok kelas bawah. Hal ini setelah mayoritas telah kehilangan pendapatan maupun mengalami pengurangan pendapatan akibat dampak pandemi Covid-19.

"Karena kelompok bawah ini terkena PHK, ada yang tidak di PHK tapi gajinya tidak di potong. Jadi, tiga hal ini jelas mengurangi konsumsi," ucapnya.

Sedangkan, turunnya produksi lebih disebabkan oleh berbagai pembatasan kebijakan sosial yang turut mengurangi kapasitas produksi. "Seperti PPKM, bahkan di awal-awal PSBB itu mereka tidak boleh beroperasional sama sekali," ucapnya.

Selanjutnya, turunnya produksi juga tak lepas dari daya beli masyarakat yang terus melemah. Sehingga otomatis produsen memilih untuk menutup operasional di sementara waktu.

"Oleh karena itu, saya selalu mengatakan di tengah pandemi ini penurunan atau kontraksi ekonomi adalah suatu keniscayaan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Bahkan, kalau dibandingkan kontraksi yang kita alami relatif lebih baik dibandingkan negara lain," keras dia menekankan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pemerintah Optimis Pulihkan Perekonomian Lewat Konsumsi Masyarakat

Mal di Senayan Kembali Dibuka
Pengunjung melihat-lihat pakaian di gerai Mall Senayan City, Jakarta, Senin (15/6/2020). Pusat perbelanjaan atau mal di Jakarta kembali dibuka pada Senin (15/6) di masa PSBB transisi dengan jumlah pengunjung masih dibatasi hanya 50 persen dari kapasitas normal. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Upaya memulihkan perekonomian nasional yang terdampak oleh pandemi COVID-19 di 2020 terus diupayakan. Selain melalui program-program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah melihat perlu mendorong konsumsi masyarkat agar sektor industri nasional terus bergerak sehingga lapangan pekerjaan pun tercipta kembali.

“Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga masih yang menjadi tertinggi dengan menyumbang 57,6 persen Produk Domestik Bruto (PDB), kedua adalah PMTB (investasi) 31,6 persen, artinya memang kalau mengejar pertumbuhan ekonomi fokus di konsumsi rumah tangga dan investasi,” ungkap Sekretaris Menteri Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam acara Dialog Produktif bertajuk Daya Ungkit Ekonomi Bangkit, yang diselenggarakan oleh KPCPEN dan tayang di FMB9ID_IKP, Selasa (16/2/2021).

“Yang kita andalkan menjadi key driver bagi pertumbuhan ekonomi 2021 pastinya mendorong konsumsi rumah tangga, bagaimana kita meningkatkan daya beli bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan menggulirkan program-program jaringan keamanan sosial, dan membangun kepercayaan diri masyarakat ekonomi menengah ke atas untuk kembali berbelanja. 2021 juga momentum untuk mendorong investasi,” tegas Susiwijono.

Beberapa indikator ekonomi makro Indonesia menunjukkan beberapa sinyal positif. Hampir semua komoditi mengalami perbaikan, beberapa industri sudah mulai bergerak, impor bahan baku dan barang modal memasuki kuartal IV 2020 trennya mulai meningkat tinggi.

“Sehingga kami berharap ini menjadi indikasi sektor riil kita mulai bergerak. Beberapa komoditas terutama minyak kelapa sawit dan beberapa produk tambang di pasar internasional harganya cukup bagus, sehingga ekspor kita cukup kuat. Apabila disimpulkan, di 2021 pemerintah sangat optimis perekonomian akan pulih,” terang Susiwijono.

“Di sisi supply, memang banyak sektor yang terpukul, sektor manufaktur misalnya berkontribusi 19,8 persen bagi perindustrian, sehingga kita fokus di industri ini karena multiply effect akan besar sekali, terkait ketenagakerjaan,” terang Susiwijono.

Pemerintah pun meluncurkan paket kebijakan relaksasi Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mendorong industri otomotif. Selain karena industri ini terdampak cukup dalam, di sisi lain multiply effect dari industri ini cukup besar karena sektor pendukungnya juga cukup banyak.

 “Diharapkan kebijakan ini menurunkan harga kendaraan bermotor, dan meningkatkan pembelian kendaraan bermotor. Skemanya yakni pemberian insentif fiskal PPnBM Ditanggung Pemerintah yang ditargetkan berlaku 1 Maret 2021 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2021,” terang Susiwijono.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya