Liputan6.com, Jakarta Sejumlah 60 bank komersial dan investasi terbesar diketahui secara kolektif mengucurkan USD 3,8 triliun ke perusahaan bahan bakar fosil, kurun 2016 danhingga 2020. Periode yang sama saat lima tahun sejak Perjanjian Paris ditandatangani.
Dikutip dari CNBC, Sabtu (21/5/2021), hal ini merujuk kepada substansi dari sebuah laporan yang diterbitkan pada bulan Maret dari kumpulan organisasi pejuang iklim berjudul Banking on Climate Chaos 2021.
Laporan tersebut merupakan kolaborasi tujuh organisasi nirlaba, diantaranya: Rainforest Action Network, Bank Track, Indigenous Environmental Network, Oil Change International, Reclaim Finance, dan Sierra Club.
Advertisement
Namun, angka tersebut bukanlah cerita lengkapnya. Sebab, disamping beberapa bank telah meningkatkan bisnis dengan perusahaan bahan bakar fosil, ada pula beberapa bank lain yang justru mengambil langkah sebaliknya.
Fakta ini berusaha membuktikan bahwa bank sejatinya memiliki kekuatan dalam mempengaruhi gerakan perubahan iklim.
“Membuat pemberi pinjaman memutus uang untuk perusahaan bahan bakar fosil adalah langkah berikutnya yang diperlukan industri untuk mengatasi risiko material yang dihadapi industri batu bara, minyak dan gas,” ujar Presiden di Firma penasihat investasi Green Century Capital Management, Leslie Samuelrich.
Sementara Ben Ratner, Direktur Senior Environmental Defense Fund yang memimpin bisnis tim transisi energi, mengatakan selain mengurangi pendanaan keseluruhan untuk industri bahan bakar fosil, bank harus menggunakan alat mereka yang paling kuat, seperti persyaratan pinjaman dan tarif untuk memberi insentif kepada klien korporat untuk mengurangi praktik pencemaran.
"Seperti emisi metana dan pembakaran gas, sambil beralih ke model bisnis yang (lebih) berkelanjutan," lanjut dia.
2 Bank Terbanyak Beri Pembiayaan Bahan Bakar Fosil Berada di China
Dari 2016 hingga 2020, Postal Savings Bank of China memiliki persentase perubahan terbesar dalam pembiayaan bahan bakar fosil, dimana angkanya meningkat lebih dari 1.200 persen dari USD 168 juta pada tahun 2016 menjadi USD 2,2 miliar pada tahun 2020.
Namun, Zhang Jinliang, ketua Postal Savings Bank of China, mengatakan dalam pernyataan tertanggal 29 Maret tentang tanggung jawab sosial perusahaan bahwa bank tersebut “menjunjung tinggi visi komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia, secara agresif mengejar pembangunan hijau, mempromosikan keuangan hijau dan pendanaan iklim, memperkuat manajemen risiko lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG), dan mempromosikan operasi hijau dan bekerja dengan cara yang ramah lingkungan."
Postal Savings Bank of China juga melaporkan bahwa "pada akhir tahun 2020, saldo pinjaman hijau mencapai RMB 280.936 juta, meningkat 30,20 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya." Misalnya, bank meminjamkan uang untuk mendanai proyek pembangkit listrik tenaga surya yang melibatkan Sungai Beigangchang di Provinsi Hunan.
Selain itu, bank turut menyiapkan program kredit untuk mendukung petani bambu di Kecamatan Zhongtai, kata perusahaan itu. Di dalam bank, pencetakan dua sisi didorong untuk menghemat kertas dan 5.307 karyawan bank telah berpartisipasi dalam kegiatan penghijauan dengan menanam 104.012 pohon.
Tidak hanya Postal Savings Bank of China, China Minsheng Bank juga mendapatkan kritikan terkait hal ini. China Minsheng Bank dilaporkan memiliki persentase perubahan tertinggi kedua dalam pembiayaan bahan bakar fosil dari 2016 hingga 2020 dengan adanya peningkatan sebesar 550%. Sebab, total pembiayaannya berubah dari USD 1,7 miliar menjadi USD 10,8 miliar, menurut analisis CNBC.
Pada tanggal 30 Maret, China Minsheng Bank menerbitkan pengungkapan 50 halaman lebih tentang "pengelolaan dan kinerja lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG)".
“Di tingkat lingkungan, perusahaan menekankan pada pembangunan hijau, secara aktif menyebarkan keuangan hijau, memanfaatkan peran pembiayaannya untuk mendorong pengembangan ekonomi hijau, ekonomi rendah karbon dan ekonomi sirkular,” kata bank tersebut.
Bank juga mengatakan dalam pengungkapannya bahwa pihaknya "membatasi penempatan kredit pada industri dengan polusi tinggi dan konsumsi energi tinggi."
China Minsheng Bank juga melaporkan bahwa “pada akhir Desember 2020, saldo kredit hijau perusahaan adalah RMB 52,669 miliar, naik RMB 20,414 miliar, atau 63,29% dibandingkan dengan awal tahun,” kata bank tersebut.
Secara internal, China Minsheng Bank mengatakan pihaknya mempromosikan kesadaran iklim, mengadakan "pelatihan khusus tentang keuangan hijau selama dua tahun berturut-turut untuk meningkatkan kesadaran pembangunan hijau" dan mendorong karyawan untuk tidak membuang-buang makanan dan menghemat air.
Tapi "dolar berbicara lebih keras daripada kata-kata," kata Ratner kepada CNBC. "Bank-bank besar harus menutup kesenjangan antara janji iklim mereka dan praktik pemberian pinjaman sehari-hari mereka."
“Ujian bagi kesehatan iklim bank bukanlah kelancaran materi pemasarannya atau bahkan jumlah yang dibelanjakan untuk energi hijau, tetapi apakah keseluruhan aktivitas bank (sudah) selaras dengan tujuan Perjanjian Paris,” tambah Ratner.
Advertisement
Dua Bank yang Pangkas pembiayaan bahan bakar fosil berbasis di Eropa
Pada ujung lain spektrum, bank asal Prancis, Crédit Mutuel, mengalami penurunan terbesar dalam pembiayaan terkait bahan bakar fosil, dengan penurunan 100% dari US$19 juta pada 2016 menjadi nol pada 2020, menurut analisis CNBC Make It menggunakan data dari laporan Banking on Climate Chaos 2021.
“Pada 2018, kami mengambil keputusan untuk menghentikan semua pembiayaan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara dan pertambangan batu bara di semua negara,” kata juru bicara Crédit Mutuel, sebuah bank koperasi yang dimiliki oleh para pelanggannya.
Pada tahun 2020, Crédit Mutuel memutuskan bersedia kehilangan uang "dalam jangka pendek" untuk tujuan bahan bakar fosilnya.
″Banyak komitmen yang dibuat oleh perusahaan hanya akan membebani mereka yang datang setelah kita,” kata juru bicara bank.
“Dalam menjalankan bisnis perbankan kami, kami mengembangkan neraca selama periode 10, 20 dan 30 tahun ... oleh karena itu wajar jika kami memberikan perhatian khusus pada pemanasan global, yang berdampak semakin kuat pada pelanggan kami. Ini membutuhkan tindakan cepat. "
Kepemimpinan Crédit Mutuel dalam pembiayaan bahan bakar fosil sejatinya konsisten dengan kinerjanya dan tujuan yang dinyatakan secara publik, menurut Rafael Quina, direktur di Fitch Ratings dan kepala pemeringkat bank Prancis dan Portugis.
Sebagian karena bank tidak melakukan banyak bisnis dengan pelanggan korporat besar seperti perusahaan bahan bakar fosil jika "dibandingkan dengan grup perbankan Eropa yang lebih besar dan lebih terdiversifikasi," kata Quina. Komentar Quina ini didasarkan pada data keuangan dari Crédit Mutuel Alliance Federale, subkelompok Crédit Mutuel yang mewakili sekitar 80% aset grup, karena ini adalah informasi paling mutakhir yang tersedia untuk umum.
“Tren yang relevan untuk seluruh grup," lanjut Quina.
Prestasi ini tentu tidak lepas dari upaya agresif yang bertahan lama dari Crédit Mutuel. Fitch telah memberi bank tersebut peringkat A + untuk "profil permodalan yang solid," dengan "prospek negatif" "karena tekanan pada peringkat bank akan meningkat jika penurunan [ekonomi] lebih dalam atau lebih lama dari yang kami perkirakan," jelas Quina.
Sebagai informasi, PDB Prancis turun pada 2020 tetapi Fitch memperkirakannya akan pulih pada 2021.
“Mereka menargetkan nol eksposur batubara dalam portofolio pembiayaan dan investasi pada tahun 2030 dan telah mengumumkan penghentian beberapa pembiayaan proyek yang tidak sejalan dengan tujuan lingkungan mereka,” tambah Quina.
Selain itu, Crédit Mutuel telah "meningkatkan pelacakan keterpaparan mereka terhadap klien bahan bakar fosil (dan dengan cara yang relatif terperinci) sejak 2018, yang lebih baik daripada beberapa negara Eropa lainnya yang saat ini menerapkan alat ini," katanya.
“Serupa dengan kebanyakan bank internasional dan besar, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyelaraskan portofolio kredit bank dengan tujuan perjanjian Paris,” tambahnya.
“Ini termasuk menyempurnakan alat yang ada dan kebijakan sektor, terus mengungkapkan ke pasar (tentang) kemajuan yang dicapai dalam menyertai transisi klien ke ekonomi yang kurang intensif karbon,” kata Quina.
Selain Crédit Mutuel, ada Zürich, bank investasi UBS yang berkantor pusat di Swiss yang telah menurunkan pembiayaan bahan bakar fosil sebesar 73%, dari US$ 7,7 miliar pada 2016 menjadi US$ 2,1 miliar pada 2020, menjadikannya bank dengan kemunduran pendanaan terbesar kedua.
Perubahan UBS adalah "bagian dari proses multi-tahun untuk mengurangi eksposur ke aset terkait karbon dan mengembangkan metodologi yang memungkinkan pengungkapan metrik iklim yang lebih kuat dan transparan," kata juru bicara UBS.
"Eksposur UBS terhadap pembiayaan fosil turun drastis dari 2016-2020 sebagian karena bank lebih jauh mengintegrasikan risiko iklim ke dalam proses identifikasi dan pelaporan risiko."
Pada akhir tahun 2020, 1,9% dari neraca perbankan UBS (US$ 5,4 miliar) memiliki “eksposur terhadap aset terkait karbon,” turun dari angka 2,3% pada akhir 2019 dan 2,8% pada akhir 2018.
Selain itu, menjadi transparan dan terperinci tentang eksposur portofolio keuangannya saat ini terhadap "aset terkait karbon" dan "sektor sensitif iklim" adalah kunci kemampuannya untuk membuat keputusan yang tepat, menurut juru bicara UBS. Dalam aksinya, UBS juga telah mengembangkan “peta panas risiko,” bekerja sama dengan United Nations Environment Programme Finance Initiative on Climate-Related Financial Disclosures.
UBS masih memiliki, seperti yang ditunjukkan peta panasnya, uang yang diinvestasikan dalam penambangan batu bara termal, penyulingan minyak, hingga pengeboran gas.
Namun, "peta panas" tersebut juga menunjukkan bahwa UBS memiliki US$ 82 juta "eksposur ke perusahaan yang berisiko tinggi mengalami gangguan jika dunia mengejar Perjanjian Paris dengan ambisius ... apakah mereka terganggu oleh perubahan kebijakan, pergeseran permintaan/penawaran, atau menjadi kalah bersaing dengan alternatif rendah karbon,” kata juru bicara UBS.
Meskipun UBS masih memiliki pendanaan yang berisiko, bank dinyatakan telah mendukung langkah yang ambisius untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris, kata seorang juru bicara.
Uang mengikuti minyak dan persepsi publik
“Singkatnya, keuangan bersifat global dan lokal. Jika bank lokal melihat atau memperkirakan konsumsi bahan bakar fosil meningkat di pasar lokal, mereka (akan) meningkatkan pinjaman. Ketika bank lokal membayangkan penurunan permintaan, mereka (akan) mengekang pinjaman,” jelas Jonathan Macey, profesor hukum perusahaan, keuangan perusahaan, dan hukum sekuritas di Universitas Yale.
Jadi, data yang memeringkat pembiayaan bahan bakar fosil bank "memberi kita jendela yang bagus untuk melihat kemungkinan pola global produksi bahan bakar fosil dan kemungkinan pola global untuk beralih ke energi terbarukan," kata Macey.
Kebutuhan untuk menghasilkan uang dan membuat pelanggan senang juga merupakan motivator bagi bank.
“Perpindahan dari bahan bakar fosil oleh manajer aset telah terhambat oleh ketakutan akan potensi kinerja yang buruk dan kekhawatiran tentang mengasingkan klien mereka tetapi [itu] akhirnya mendapatkan daya tarik,” kata Samuelrich.
Banyak pula perusahaan energi besar yang masih aktif dalam bahan bakar fosil telah beralih ke energi bersih dan oleh karena itu akan membutuhkan pendanaan, karena proyek semacam itu “lebih padat modal,” kata James Vaccaro, direktur eksekutif Climate Safe Lending Network. Jadi “terkadang ini adalah bagian dari cerita positif” bagi bank, katanya.
“Apa yang mengejutkan dan mengecewakan adalah bahwa tampaknya ada peningkatan arus keuangan untuk aktivitas bahan bakar fosil yang sebenarnya, terutama dalam gas,” kata Vaccaro, menunjuk pada laporan yang memperkirakan belanja modal diperkirakan akan tumbuh lebih dari 8,4% per tahun selama lima tahun ke depan.
Laporan Banking on Climate Chaos 2021 “mengungkapkan peningkatan pendanaan untuk ekspansi dan eksplorasi bahan bakar fosil itu sangat memprihatinkan,” tambahnya. Menurut Vaccaro, "yang benar-benar dibutuhkan adalah perincian dan transparansi yang lebih besar tentang ke mana bank meminjamkan.”
“Jika kenaikan pinjaman bank itu untuk proyek energi bersih di dalam perusahaan yang masih memiliki bahan bakar fosil, mengapa tidak ditunjukkan? Kemungkinan besar Anda akan melihat bank yang telah membatasi beberapa bahan bakar fosil (batu bara, eksplorasi Arktik, pasir tar) hanya meningkat dalam bahan bakar fosil lainnya (gas, fracking, dll.),” kata Vacarro.
Meskipun mungkin tidak realistis bagi bank untuk berubah dalam semalam, mereka perlu melakukan lebih banyak, secara kolektif, daripada yang sebenarnya, kata Vacarro. Dan memang, sebuah laporan baru yang diterbitkan 15 April dari Climate Safe Lending Network menawarkan sepuluh poin rekomendasi kebijakan tentang bagaimana menerapkan peraturan tersebut.
“Ada bukti yang jelas bahwa banyak bank tidak mampu mengambil keputusan yang dibutuhkan oleh transisi,” lanjut Vacarro. “Ketakutan kehilangan bisnis ke bank lain masih lebih mendalam daripada kekhawatiran intelektual mereka atas dampaknya terhadap planet ini. Dengan sedikitnya 81 bulan tersisa pada tingkat saat ini sebelum kita mengunci kenaikan suhu [lebih dari 1,5 derajat Celcius] secara global, itu hanya bergerak terlalu lambat dan tidak ada dana talangan untuk itu."
Di sini, Vacarro mengacu pada waktu yang tersisa, yakni enam tahun, delapan bulan dan sembilan hari sejak 22 April hingga anggaran karbon dioksida tercapai dan terlampaui untuk pemanasan global planet melebihi 1,5 derajat Celcius, batas yang ditentukan untuk pemanasan global dibandingkan ke tingkat pra-industri sebagaimana disepakati oleh The Paris Agreement.
“Gerakan divestasi bahan bakar fosil telah didorong oleh tekanan klien dan pelanggan, dan kemungkinan itu adalah cara tercepat untuk membuat bank menjauh dari bahan bakar fosil. Saya pikir pemegang saham juga dapat memainkan peran penting dengan meningkatkan risiko material bagi lembaga keuangan dan menekan mereka untuk memutar pinjaman mereka guna mendukung ekonomi yang lebih hijau,” kata Samuelrich.
Reporter: Priscilla Dewi Kirana
Advertisement