Indonesia Bersiap Jadi Raja Hilir Sawit, Kapan Itu?

Program hilirisasi digelar sebagai upaya membesarkan industri sawit nasional yang notabene menjadi salah satu sektor andalan bagi perekonomian Indonesia.

oleh Tira Santia diperbarui 28 Jun 2021, 16:53 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2021, 13:31 WIB
Perkebunan sawit di Riau yang menjadi sumber pencaharian sebagian besar masyarakat.
Perkebunan sawit di Riau yang menjadi sumber pencaharian sebagian besar masyarakat. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah telah menggulirkan program hilirisasi industri kelapa sawit nasional sejak 2011. Program hilirisasi digelar sebagai upaya membesarkan industri sawit nasional yang notabene menjadi salah satu sektor andalan bagi perekonomian Indonesia.

Dengan program hilirisasi manfaat ekonomi pun diyakini bakal meningkat. Berbagai kebijakan pun telah digulirkan terkait program hilirisasi ini. Upaya ini telah meningkatkan industri hilir kelapa sawit setiap tahunnya.

Hilirisasi industri minyak kelapa sawit nasional merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan jangka panjang industri minyak sawit Indonesia, mengingat sawit merupakan salah satu komoditas strategis.

Deputi II Bidang Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud mengatakan, pemerintah tengah berupaya mengubah posisi Indonesia dari Raja CPO (crude palm oil) tersebut menjadi Raja Hilir Sawit pada 2045 mendatang.

Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah telah menggelar berbagai kebijakan dalam rangka mendorong percepatan hilirisasi industri sawit nasional.

Di antaranya kebijakan insentif pajak, pengembangan kawasan industri integrasi industri hilir sawit dengan fasilitas/jasa pelabuhan, kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor, serta kebijakan mandatori biodiesel untuk substitusi solar impor.

Menurut Musdhalifah, sejauh ini, ekspor produk hilir sawit Indonesia sudah jauh lebih besar dari produk hulu. Jika pada 2006, ekspor hulu masih sekitar 60 persen–70 persen.

“Saat ini ekspor produk hilir justru mencapai 60 persen–70 persen dan produk hulu hanya sekitar 30 persen–40 persen,” katanya.

Hilirisasi minyak kelapa sawit yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini dapat dikelompokkan atas tiga jalur hilirasasi, yakni jalur hilirisasi oleopangan complex, oleokimia complex, dan biofuel complex.

Pertama, Jalur Hilirisasi Oleopangan (oleofood complex) yakni industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleo pangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product).

Berbagai produk hilir oleopangan yang telah dihasilkan di Indonesia antara lain minyak goreng sawit, margarin, vitamin A, Vitamin E, shortening, ice cream, creamer, cocoa butter/specialty-fat dan lain-lain.

Kedua, Jalur Hilirisasi Oleokimia (oleochemical complex) yakni industri-industri yang mengolah mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia/oleokimia dasar sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan, misalnya ragam produk detergen, sabun, shampo), biolubrikan (misalnya biopelumas) dan biomaterial (misalnya bioplastik).

Ketiga, Jalur Hilirisasi Biofuel (biofuel complex) yakni industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel seperti biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur.

Hilirisasi minyak sawit dengan tiga jalur tersebut merupakan bagian penting dari strategi industrialisasi di Indonesia, yakni kombinasi strategi promosi ekspor dan substitusi impor. Melalui hilirisasi, manfaat ekonomi (multiplier ekonomi) akan terjadi di dalam negeri.

Dengan hilirisasi, jenis ragam produk hilir yang dihasilkan terus bertambah, dari semula berjumlah 70 produk (2011), naik menjadi 126 produk (2017), lalu meningkat menjadi 170 produk (2020), dengan dominasi produk pangan dan bahan kimia.

 

Saksikan Video Ini

Tuai Dukungan

Sawit
Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh 2019 menyebut terdapat 61 perusahaan kelapa sawit di provinsi itu. Sebanyak 39 diantaranya masih beroperasi, delapan dalam tahap pembangunan, dan 14 lainnya dinyatakan kolaps. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Para pelaku usaha di industri kelapa sawit mendukung program hilirisasi yang telah digulirkan pemerintah sejak 2011.

Salah satu kebijakan yang dinilai mendukung program hilirisasi yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 terkait tarif pungutan ekspor sawit.

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo mengatakan, dengan struktur pungutan ekspor sekarang, ekspor dalam bentuk produk hilir sawit meningkat pesat.

Begitu pula investasi hilir terus bertambah di dalam negeri. Industri hilir sawit akan memberikan nilai tambah yang lebih besar dari aspek penyerapan tenaga kerja, pajak, dan devisa.

“Skema tarif pungutan sawit yang lebih tinggi kepada produk hulu, dan tarif lebih rendah untuk produk hilir sangat mendukung daya saing ekspor produk hilir Indonesia di pasar global baik itu oleofood maupun oleokimia, serta menjaga stabilitas harga produk sawit untuk makanan di pasar dalam negeri,” ungkapnya dalam keterangan tertulis.

Berdasarkan data yang dikumpulkan GIMNI, komposisi ekspor produk hilir terus meningkat. Sepanjang Januari- April 2021, komposisi ekspor produk hilir (high value add) dalam bentuk volume di atas 80 persen - 90 persen.

Sedangkan, ekspor minyak sawit mentah (CPO & CPKO, low value add) rerata menurun drastis ke arah 10 persen-20 persen.

Pada Januari 2021, ekspor produk CPO dan turunannya mencapai 2,861 juta ton (24 persen Crude Oils/CO dan Palm Processed Oils/PPO sebesar 76 persen).

Pada Februari 2021, volume ekspor sawit berjumlah 1,994 juta ton (crude oils 20 persen dan PPO sebesar 80 persen). Volume ekspor sawit dan turunannya pada Maret 2021 naik menjadi 2,63 juta ton (crude oils 12 persen dan PPO 88 persen).

Selanjutnya pada April 2021, volume ekspor kembali naik menjadi 3,078 juta ton (crude oils 10,6 persen dan PPO 89,4 persen).

Sejalan dengan hal di atas, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung, mengakui petani sangat menikmati tingginya harga tandan buah segar (TBS) sawit di 22 provinsi yang menjadi sentra sawit. Kondisi tersebut ditopang kebijakan tarif pungutan ekspor yang diterapkan pemerintah saat ini.

Adanya skema pungutan tersebut, menurut Gulat, pengusaha CPO sudah berpikir untuk hilirisasi dalam negeri karena tarif pungutan untuk ekspor produk hilir dari CPO jauh lebih rendah.

Dengan demikian, industri hilir di dalam negeri dapat tumbuh sehingga penyerapan tenaga kerja meningkat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya