Liputan6.com, Jakarta Penanganan kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur menyisakan persoalan hingga saat ini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Lapindo Brantas Inc (LBI) dan PT Minarak Lapindo Jaya belum melunasi utang ke pemerintah.
Utang tersebut berupa dana talangan penanggulangan lumpur. Utang itu, telah jatuh tempo pada 10 Juli 2019 lalu. Lalu sejauh apa perkembangan utang Lapindo?
Baca Juga
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban mengatakan, pihaknya masih terus berkomunikasi dengan Lapindo. Saat ini, pemerintah kembali mengirimkan tanggapan terkait utang Lapindo.
Advertisement
"Lapindo, sudah ada surat menyurat dan saat ini kita sudah kembali memberikan tanggapan kepada pihak Lapindo," ujar Rionald dalam diskusi daring bersama media, Jakarta, Jumat (2/7/2021).
Rionald mengatakan, pembahasan saat ini dengan Lapindo masih terkait pembayaran kewajiban. Adapun pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara bertahap namun tetap tersendat.
"Jadi memang sebagaimana diketahui ini mengenai jumlah kewajiban," kata Rionald.
Untuk diketahui, Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya belum memenuhi kewajibannya untuk melunasi utang kepada pemerintah pada 10 Juli 2019. Dua hari berselang jatuh tempo, Kementerian Keuangan bersikukuh akan terus melakukan penagihan utang Lapindo sebesar Rp773 miliar.
Â
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengamat Minta Pemerintah Tak Lembek Tagih Utang Lapindo
Penanganan kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur masih menyisakan persoalan hingga saat ini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat Lapindo Brantas Inc (LBI) dan PT Minarak Lapindo Jaya belum melunasi utang ke pemerintah.
Utang tersebut berupa dana talangan penanggulangan lumpur, yang telah jatuh tempo pada 10 Juli 2019 lalu. Karena itu, negara tak boleh lembek alias perlu tegas agar sisa tagihan bisa dilunasi.
Pengamat Ekonomi Politik Cecep Handoko menyataka, bila pemerintah serius ingin mengambil aset milik Bakrie Group butuh proses putusan pengadilan. Negara tidak serta merta bisa mengambil aset tersebut seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) milik keluarga Cendana.
"Kasus Lapindo ini beda sama kayak TMII. Kalau Lapindo soal hutang piutang antara negara dengan Group Bakrie. Nah itu harus sesuai putusan pengadilan," kata dia, Selasa (18/5/2021).
Harusnya, kata Cecep, negara saat memberi talangan di kasus Lapindo mempertimbangkan apa LBI dan Minarak dan punya aset untuk menjamin hutangnya bisa dikembalikan ke negara.
Ke depan, pemerintah harus lebih selektif dalam memberikan dana talangan sehingga tidak bingung lantaran aset yang dimiliki tidak bisa menutup utang.
Diketahui, kasus lumpur Lapindo yang menyembur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006 lalu, mengakibatkan 16 desa di tiga kecamatan tenggelam dan setidaknya 30 pabrik ditutup.
Bencana tersebut terjadi karena sebelumnya terdapat aktivitas pengeboran di sawah Porong oleh LBI. Dalam laporannya, BPK menyebut LBI terindikasi sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas kerugian yang ditimbulkan oleh semburan lumpur.
Secara rinci pemerintah mencatat hingga 31 Desember 2019, total pokok utang Lapindo Brantas dan Minarak sebesar Rp 773,38 miliar, total bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp 981,42 miliar. Sementara pembayaran dilakukan pada Desember 2018 sebesar Rp 5 miliar, sehingga total utang Lapindo Brantas dan Minarak sebesar Rp 1,91 triliun.
Advertisement