Moody's Menguak Dahsyatnya Dampak bila AS Gagal Bayar Utang, Kondisi Bisa Saingi Resesi Hebat

Berdasarkan data Statista per Agustus 2021, utang Amerika Serikat mencapai USD 28,4 triliun atau setara Rp 404.500 triliun dan terancam gagal bayar.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 23 Sep 2021, 23:32 WIB
Diterbitkan 23 Sep 2021, 23:32 WIB
3.000 Bendera Amerika untuk Peringatan Tragedi 9/11
Bendera Amerika Serikat. (Frederic J. BROWN/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Amerika Serikat (AS) dikabarkan terancam gagal membayar utang atau default untuk pertama kalinya. Berdasarkan data Statista per Agustus 2021, utang Amerika Serikat mencapai USD 28,4 triliun atau setara Rp 404.500 triliun.

Posisi utang tersebut telah mencapai batas maksimal sehingga AS tidak bisa menambah utang tanpa kebijakan penangguhan.

Laporan yang dirilis Moody's Analytics memperingatkan jika kegagalan pembayaran utang ini benar-benar terjadi, akan menjadi "pukulan bencana" bagi pemulihan ekonomi Amerika dari Covid-19. Bahkan disebut bisa memicu penurunan ekonomi yang akan menyaingi Resesi Hebat.

Dampak besarnya, jika gagal bayar utang ini terus menemui kebuntuan dan berlarut-larut, resesi berikutnya akan menghilangkan hampir 6 juta pekerjaan dan mengangkat tingkat pengangguran nasional menjadi hampir 9 persen.

"Kehancuran pasar akan memangkas harga saham sepertiga, menghapus sekitar USD 15 triliun kekayaan rumah tangga, menurut laporan itu.

"Skenario ekonomi ini adalah bencana besar," tulis Kepala Ekonom Moody's Analytics Mark Zandi,  melansir CNN, Kamis (23/9/2021).

Departemen Keuangan AS juga memperkirakan akan kehabisan uang tunai di bulan Oktober kecuali Kongres menaikkan plafon utang.

Terlepas dari momok default, Partai Republik telah menolak untuk mendukung peningkatan batas utang sebagian karena kekhawatiran tentang rencana pengeluaran besar pemerintahan Biden.

Moody's mencatat jika pasar keuangan tidak panik tentang showdown plafon utang ini. Hal ini  menunjukkan ada keyakinan kuat bahwa Kongres pada akhirnya akan bertindak.

Demikian pula dampak terhadap Wall Street sejauh ini jauh lebih kecil dibandingkan kebuntuan yang sempat terjadi pada 2011 dan 2013.

"Ironisnya, karena investor tampak begitu optimis tentang bagaimana drama ini akan dimainkan, pembuat kebijakan mungkin percaya bahwa mereka tidak perlu khawatir dan gagal menyelesaikan batas utang tepat waktu," tulis Zandi. "Ini akan menjadi kesalahan yang mengerikan.

 

Ditanggung Beberapa Generasi

Ilustrasi dolar AS
Ilustrasi Utang AS. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Hasil temuan Moody's, kekhawatiran akan gagal bayar AS pada tahun 2013 mengangkat hasil Treasury, membebani pembayar pajak sekitar setengah miliar dolar dalam biaya bunga tambahan serta membuatnya lebih mahal bagi keluarga dan bisnis untuk meminjam.

Jika Kongres gagal mengangkat pagu utang dan Departemen Keuangan mulai terlambat membayar tagihan dan gagal bayar, pasar akan bereaksi sangat negatif.

"Kemungkinan akan ada momen TARP," tulis Zandi, mengacu pada kejatuhan pasar tahun 2008 setelah Kongres awalnya gagal menyetujui bailout Wall Street - dan kemudian dengan cepat berbalik.

Skenario terburuk, menurut temuan Moody, jika Kongres masih tidak bertindak untuk mengangkat plafon utang dan kebuntuan terus berlanjut maka itu akan memaksa pemerintah federal untuk menunda pembayaran yang jatuh tempo pada 1 November sekitar USD 80 miliar.

Pembayaran ini termasuk kepada penerima Jaminan Sosial, veteran dan militer yang bertugas aktif, kata Moody's. Pemotongan pengeluaran drastis lebih lanjut perlu dilakukan jika krisis berlangsung hingga November.

Di luar pukulan langsung ke ekonomi AS, default kemungkinan akan membayangi Amerika Serikat untuk waktu yang lama.

"Orang Amerika akan membayar default ini selama beberapa generasi karena investor global akan benar-benar percaya bahwa keuangan pemerintah federal telah dipolitisasi dan akan tiba saatnya ketika mereka tidak akan dibayar apa yang menjadi hutang mereka ketika berhutang," tegas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya