Liputan6.com, Jakarta - Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat, Djoko Setijowarno memperingatkan risiko kecelakaan lalu lintas akibat pengemudi angkutan umum yang kelelahan.
Djoko membeberkan hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang mengidentifikasi faktor penyebab kecelakaan dipicu oleh kelelahan (fatigue) pengemudi. Dampak selanjutnya adalah terjadinya penurunan kewaspadaan micro sleep.
Hasil investigasi KNKT di beberapa kecelakaan lalu lintas itu melibatkan bus umum, salah satunya kejadian kecelakan Bus Rosalisa Indah di Purbalingga, Bus Tiban Inten di Tol Cipali, Bus Sang Engon di Tol Jatingaleh, Mobil Isuzu Elf di Tol Cipali.
Advertisement
Salah satu penyebab kecelakaan tersebut adalah kurangnya waktu istirahat bagi pengemudi.
KNKT mengungkapkan bahwa masih jarang ditemukan destinasi wisata maupun hotel yang menyediakan tempat istirahat memadai bagi pengemudi bus pariwisata.
Setiba di tempat tujuan wisata, biasanya pengemudi beserta awak kendaraan tidur di kolong bus. Hal it juga diungkapkan dengan sejumlah foto yang menunjukkan pengemudi bus tampak beristirahat di area bus.
Djoko menyarankan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif hendaknya dapat menambahkan persyaratan layanan di tempat wisata yang harus dilengkapi dengan tempat istirahat bagi pengemudi yang mengantarkan pelancong ke tempat wisatanya.
Diketahui, KNKT telah menyampaikan melalui surat kepada Menteri Pariwisata pada 15 Juni 2017. Namun belum ada tanggapan pada surat tersebut, termasuk tindak lanjutnya hingga sekarang.
KNKT pada 11 November 2021 kembali menyurati Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perihal Tempat Istirahat Pengemudi Bus Pariwisata.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rest Area
Ruang istirahat bagi pengemudi, menurut Djoko, tidak hanya dapat disediakan di setiap daerah wisata, namun juga harus diberikan di setiap Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP) atau rest area di sepanjang jalan tol.
"Ketersediaan tempat istirahat yang nyaman merupakan cara untuk mengantisipasi kelelahan pengemudi angkutan umum baik yang mengangkut penumpang maupun barang," kata Djoko.
Maka dari itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat membuat aturan untuk mewajibkan setiap lokasi wisata wajib menyediakan tempat istirahat bagi pengemudi kendaraan pariwisata.
Guna memperkuat langkah tersebut, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dapat memasukkan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa;
(1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum paling lama 8 jam sehari;
(3) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam.
(4) Dan dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 jam.
Advertisement
Hak Libur
Djoko melanjutkan, dari beberapa penyebab kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sejumlah bus umum, KNKT melihat sejumlah permasalahan saat ini, seperti tidak diatur ketentuan mengenai waktu libur bagi pengemudi, tidak adanya perbedaan waktu mengemudi malam hari dan siang hari, tidak adanya ketentuan mengenai tempat istirahat bagi pengemudi, hak pengemudi selama libur, masih salah mempersepsikan istilah waktu kerja dan waktu mengemudi, serta tidak adanya sistem pengawasan yang efektif terhadap aturan waktu kerja mereka.
Padahal, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (pasal 77) menyatakan bahwa (1) setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja, (2) waktu kerja (a) 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau (b) 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu; dan (3) ketentuan waktu kerja tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
Memperhatikan ketentuan pengaturan waktu kerja bagi pengemudi baik yang diatur oleh UU Nomor 22 Tahun 2009 maupun oleh UU Nomor 13 Tahun 2003, Djoko menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu dicermati.
Pertama, yang perlu menjadi perhatian adalah waktu kerja pengemudi angkutan umum, ketentuan mana yang harus ditaati diantara kedua UU dimaksud.
Kedua, jika mengacu kepada UU Ketenagakerjaan maksimal waktu kerja adalah 8 jam sehari untuk 5 hari waktu kerja dalam seminggu.
Ketiga, pada ketentuan waktu kerja bagi pengemudi angkutan umum, Djoko menyebut, tidak dijelaskan siapa yang menjalankan fungsi pengawasan, apakah lembaga yang bertanggung jawab di bidang transportasi ataukah tenaga kerja.
Keempat, pada UU Nomor 13 Tahun 2003 masih terbuka peluang untuk mengatur waktu kerja dan waktu istirahat secara tersendiri (khusus) pekerjaan yang memiliki karakteristik khusus, termasuk di dalamnya adalah pengemudi angkutan umum, demikian paparan Djoko Setijowarno.