Pengusaha Diyakini Tetap Untung Meski DMO Batu Bara Dipatok USD 70 per Ton

Pengamat berharap rencana kenaikan DMO ini ditahan hingga perekonomian benar-benar pulih.

oleh Tira Santia diperbarui 27 Des 2021, 18:27 WIB
Diterbitkan 27 Des 2021, 16:00 WIB
Ekspor Batu Bara Indonesia Menurun
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengevaluasi batas harga patokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri, di sektor kelistrikan, semen, hingga pupuk.

Pengamat menilai jika pengusaha batu bara akan tetap menuai untung meski harga domestic market obligation (DMO) di beberapa sektor termasuk kelistrikan tidak naik.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengacu pada besaran harga DMO batu bara sebesar USD 70 per ton dan biaya produksi berkisar USD 39-45 per ton, maka keuntungan yang masih didapat pengusaha sekitar USD 3,44 miliar hingga USD 4,26 miliar. Ini dengan asumsi kebutuhan DMO batu bara 137,5 juta ton per tahun pada 2021.

"Dengan harga batu bara DMO USD 70 ton, pengusaha enggak rugi, walaupun memang masing-masing wilayah punya tingkat kesulitan yang berbeda, harga USD 70 per ton ini moderat teman-teman pengusaha tidak mengalami kerugian dan sesuai kemampuan PLN," jelas dia.

Menurut dia, keuntungan tersebut juga belum termasuk kenaikan margin seiring lonjakan harga batu bara di pasar internasional hingga di atas USD 170 per ton. Hingga kini, dari total volume produksi batu bara nasional, sekitar 25 persen dijual ke pasar domestik, sementara sebagian besar diekspor.

Mamit menghitung, jika pemerintah memutuskan melepas harga DMO, di mana harga batu bara acuan (HBA) pada 2022 dipatok USD 150 per ton, maka pengusaha mengantongi untung USD 105-USD 111 per ton.

Dengan asumsi kebutuhan DMO batu bara 2022 sama dengan tahun ini 137,5 juta ton, maka windfall profit yang bisa diraup pengusaha berkisar USD 14,43- USD 15,26 miliar.

Kemudian di sisi lain, kenaikan harga DMO batu bara bakal mengakibatkan kenaikan biaya pokok produksi (BPP) listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sehingga akan mendongkrak subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung negara.

"Kalau APBN tidak mampu menanggung beban subsidi dan kompensasi, maka kenaikan tarif listrik tak dapat dihindari dan akhirnya rakyat jadi korban," ungkap dia.

Dari sini, dia khawatir jika penyesuaian DMO hanya akan membuat pengeluaran negara lebih besar, dibanding pendapatan negara atas kenaikan batu bara DMO.

Kondisi saat ini pun dinilai bukan waktu tepat karena terkait dengan perekonomian nasional, di mana konsumsi masyarakat pun belum pulih dan industri baru mulai bergeliat kembali. "Untuk itu, kenaikan DMO saya kira sebisa mungkin tidak perlu dilakukan saat ini," kata Mamit.

Dia pun berharap, rencana kenaikan DMO ini ditahan hingga perekonomian benar-benar pulih.

Harga Batu Bara

Ekspor Batu Bara Indonesia Menurun
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) bulan Desember 2021 sebesar USD 159,79 per ton atau turun USD55,22 per ton dibandingkan HBA bulan November 2021, yaitu USD 215,01 per ton.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan penurunan HBA ini dipengaruhi oleh intervensi kebijakan Pemerintah Tiongkok dalam menjaga kebutuhan batubara domestik mereka.

"Pemerintah Tiongkok telah meningkatkan produksi batubara dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang berdampak pada meningkatnya stok batubara domestik Tiongkok serta kebijakan pengaturan harga batubara oleh pemerintah setempat," kata Agung di Jakarta, Rabu (8/12).

Agung menambahkan penurunan HBA bulan ini juga disebabkan oleh masih berlangsungnya krisis energi diikuti merangkaknya komoditas energi fosil di luar batubara. "Peralihan penggunaan batubara global akibat melonjaknya harga gas dan minyak bumi mulai ter-recovery," jelasnya.

Penurunan HBA Desember sendiri merupakan kali pertama setelah hampir sepanjang tahun harga batubara mengalami lonjakan sepanjang tahun 2021.

Dibuka pada level USD 75,84 per ton di Januari, HBA mengalami kenaikan pada bulan Februari USD 87,79 per ton, sempat turun di Maret USD 84,47 per ton.

Selanjutnya terus mengalami kenaikan secara beruntun hingga bulan November 2021 pada angka USD 215,01 per ton.

Rinciannya, April di angka USD86,68, Mei (USD 89,74/ton), Juni (USD 100,33/ton), Juli (USD 115,35/ton), Agustus (USD 130,99/ton), September (USD 150,03/ton), dan Oktober (USD161,63/ton).

Sebagai informasi, HBA merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8 persen, Total Sulphur 0,8 persen, dan Ash 15 persen.

Terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.

Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.

Nantinya, HBA bulan Desember ini akan dipergunakan pada penentuan harga batubara pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel) selama satu bulan ke depan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya