Liputan6.com, Jakarta Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina telah mendorong kenaikan harga-harga komoditas. Perang ini jelas mempengaruhi harga energi, karena memang Rusia menjadi salah satu produsen energi yang besar.
Hal itu disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KITA Edisi Maret 2022, secara virtual, Senin (28/3/2022).
Baca Juga
Komoditas yang harganya naik diantaranya, natural gas mengalami kenaikan sebesar 58 persen, batu bara melonjak harganya 92,9 persen, minyak Brent mengalami kenaikan 54 persen, CPO naik 27 persen.
Advertisement
Kemudian, harga gandum juga naik, lantaran dalam hal ini Rusia dan Ukraina merupakan produsen penting penghasil gandum. Harga gandum melonjak 42 persen dan harga dari jagung juga mengalami kenaikan sebesar 26,7 persen.
“Harga barang barang ini adalah barang yang menentukan inflasi, karena dia menentukan harga energi harga pangan di negara barat maupun bahkan di negara kita. Karena dia juga mempengaruhi banyak sekali konsumsi yang sekarang basisnya adalah gandum dan jagung termasuk dalam hal ini harga pangan untuk peternakan,” kata Menkeu.
Artinya dengan kenaikan energi, komoditas dan harga pangan maka tekanan inflasi melonjak sangat tinggi. Kata Menkeu, dilihat dari index producer price kenaikannya sudah sangat tinggi, bahkan di Eropa kenaikannya sudah mencapai 30 persen, meskipun inflasinya baru meningkat 5,6 persen.
“Ini menggambarkan tekanan yang berat dari sektor producer, karena mereka mengalami kenaikan harga barang-barang, tapi di sisi lain harga barang jadinya di tingkat masyarakat hanya naik 5,6 persen, dan ini dilemma dan komplikasi pemulihan ekonomi inilah yang akan dihadapi oleh semua negara banyak negara, Indonesia juga pasti terkena imbasnya,” jelasnya.
Negara Lain
Selain Eropa, negara lainnya yang nilai producer price lebih tinggi dari consumer price, diantaranya Amerika Serikat, Jerman, Tiongkok, Meksiko, India, Inggris, Brazil, Italia, dan Indonesia.
“Nantinya negara-negara ini memiliki kebijakan yang makin sulit, jika harga sudah sangat tinggi pasti tekanan terhadap producer kalau di naikkan suku bunga akan menekan daya beli juga akan menekan investasi lebih besar lagi,” katanya.
Sehingga ancaman terhadap momentum pemulihan ekonomi itu menjadi sangat nyata, dengan dilemma kebijakan yang sekarang dihadapi oleh semua negara, yaitu menstabilkan harga yang sangat menantang.
Namun, disisi lain menjaga momentum pemulihan ekonomi juga mengalami perlemahan yang terlalu cepat. Banyak negara yang sudah melakukan response policy.
“Semuanya producer price nya sudah diatas consumer price, pertanyaannya berapa cepat dan Berapa besar producer price index ini akan diterjemahkan menjadi harga ditingkat konsumen yang meningkat,” ujarnya.
Inilah yang menjadi salah satu hal antisipasi bagi semua negara, untuk kemudian menentukan seberapa cepat pengetatan dari kebijakan fiskal dan moneter terhadap adanya tren kenaikan harga-harga di tingkat produsen dan konsumen ini.
Advertisement